Links
Google
 

Thursday, March 29, 2007

Tuak dalam Masyarakat Batak Toba



Annual Report of the University of Shizuoka, Hamamatsu College
No.11-3, 1997, Part 5.

Tuak dalam Masyarakat Batak Toba:
Laporan Singkat tentang Aspek Sosial-budaya Penggunaan Nira
IKEGAMI, Shigehiro
Tuak in the Toba Batak Society:
A Preliminary Report on the Socio-cultural Aspect of Palm Wine Consumption

IKEGAMI, Shigehiro




Pendahuluan

Selama enam tahun ini sejak tahun 1992, saya mempelajari dinamika sosial dan kebudayaan dalam masyarakat Batak Toba, berdasarkan penelitian yang saya lakukan di propinsi Sumatera Utara. Fokus studi saya selama enam tahun ini adalah adat kematian dalam masyarakat tersebut [Ikegami 1997]. Selama penelitian tersebut, saya bergaul dengan masyarakat setempat dan mengikuti beberapa upacara adat secara langsung, sehingga saya menyadari pentingnya minuman tuak (nira) di kalangan masyarakat tersebut baik dalam kehidupan sehari-hari maupun dalam upacara adat. Kebanyakan orang Indonesia yang beragama Islam tidak minum minuman yang mengandung alkohol berazaskan ajaran agama tersebut. Akan tetapi tuak berposisi sebagai minuman khas Batak Toba, karena sebagian besar orang Batak Toba menganut agama Kristen yang tidak memantang minuman keras.

Walaupun tuak merupakan minuman penting bagi orang Batak Toba, sampai sekarang studi mengenai tuak yang berfokus pada aspek sosial-budaya boleh dikatakan masih sedikit saja. Umpamanya Shuji Yoshida, seorang etnolog Jepang, telah menggambarkan teknik produksi tuak [Yoshida 1991; 1992], tetapi dia tidak menjelaskan makna tuak dalam masyarakat Batak Toba. Selain itu, terdapat lagi tiga artikel yang tertulis oleh orang Batak Toba sendiri [Ginzel 1984; Marpaung 1989; Sirait dan Sihotang 1986]. Ketiga artikel ini terutama berfokus pada fungsi sosial lapo (kedai) tuak dalam kehidupan sehari-hari.1)

Kita bisa mendapat garis besar tentang apa sebenarnya lapo tuak tersebut dari ketiga artikel ini. Namun demikian, makna, pengertian, dan cara penggunaan tuak dalam masyarakat Batak Toba tidak dibahas secara luas dalam artikel-artikel ini. Oleh karena itu, saya merasa perlu dilaksanakan penelitian lapangan mengenai tuak yang meliputi penggunaan tuak baik dalam kehidupan sehari-hari maupun dalam kesempatan tertentu atau upacara adat. Penelitian ini dimaksudkan untuk menggambarkan penggunaan tuak dalam masyarakat Batak Toba secara sistematis dengan fokus pada aspek sosial-budaya. Dengan laporan singkat ini, saya menerangkan dahulu metodologi penelitian. Kemudian dilaporkan hasil penelitian secara ringkas.2)

Hal-hal yang tersinggung di bawah ini adalah sebagai berikut: (1) apa sebenarnya tuak dan pengertian tuak dalam masyarakat Batak Toba; (2) produksi dan distribusi tuak; (3) kebiasaan minum tuak dalam kehidupan sehari-hari; (4) pemakaian tuak pada kesempatan tertentu untuk kaum wanita; dan (5) penggunaan tuak dalam upacara adat.

I. Metodologi

Sejak akhir abad ke19 setelah masuk agama Kristen di tanah Batak, orang Batak Toba yang mendiami wilayah sekitar danau Toba mulai merantau ke dataran rendah di bagian timur di Sumatera utara yang biasanya disebut Sumatera Timur. Jumlah perantau ke daerah perantauan tersebut semakin bertambah sejak tahun 1910an, setelah Sisingamangaraja XII gugur dan pemerintah Belanda membuka jalan lalu rintas antara pantai timur dan pantai barat Sumatera yang melewati danau Toba. Setelah selesai perang kemerdekaan (1945-1949), banyak orang Batak Toba berdomisili kota-kota besar terutama seperti Medan dan Jakarta. Oleh karena itu saya memilih dua lokasi untuk penelitinan kali ini, yaitu kampung halaman dan perantauan. Tempat penelitian yang dipilih di kampung halaman adalah kecamatan Balige yang terletak di sebelah selatan danau Toba, khususnya desa Lintong Ni Huta (LNH) yang telah saya laksanakan penelitian dahulu.

Satu lagi saya memilih Kotamadya Medan sebagai tempat penelitian di perantauan bagi orang Batak Toba. Penelitian ini dilakukan selama dua bulan mulai Agustus 1997 sampai dengan Oktober 1997. Setelah mengurus perizinan penelitinan di Jakarta selama satu minggu, saya mengadakan penelitian di Medan selama dua minggu dan di kecamatan Balige selama lima minggu. Dalam penelitian di kecamatan Balige dan Medan, saya menggunakan tiga metode penelitian, yaitu (1) wawancara bebas dan wawancara berfokus (free interview and focused interview); (2) metode kajian kasus (case study) mengenai produksi, distribusi dan konsumsi
tuak ; serta (3) observasi partisipan (participant observation) pada kehidupan sehari-hari dan beberapa upacara adat.

Saya bertemu dengan beberapa perantau Batak Toba untuk mengadakan wawancara tentang pemakaian tuak di kota Medan. Selain itu saya mengunjungi beberapa lapo tuak untuk melihat secara langsung situasi minum tuak dalam kehidupan sehari-hari. Saya menghubungi pula beberapa tokoh-tokoh adat di Medan untuk memperlengkap informasi tentang pemakaian tuak
di Medan. Selama lima minggu di kecamatan Balige, saya bertemu dengan tokoh-tokoh adat untuk menanyakan pengertian tuak bagi masyarakat Batak Toba dan penggunaan tuak dalam upacara adat. Saya mewawancarai ibu-ibu yang telah pernah melahirkan anak mengenai pengalamannya minum tuak waktu melahirkan anak. Sementara itu saya mengikuti kegiatan penyadap tuak yang biasanya disebut paragat untuk mengetahui cara produksi tuak dan bertanya kepada pemilik kedai tuak tentang distribusi serta konsumsi tuak.

II. Apa Sebenarnya Tuak dan Pengertian Tuak dalam Masyarakat Batak Toba

Tuak merupakan sadapan yang diambil dari mayang enau atau aren (Arenga pinnata). Kalau dalam bahasa Indonesia, sadapan dari enau atau aren disebut nira. Nira tersebut manis rasanya, sedangkan ada dua jenis tuak sesuai dengan resepnya, yaitu yang manis dan yang pahit (mengandung alkohol). Hatta Sunanto [1983:17], seorang Insinyur pertanian, menerangkan: “Di
Indonesia, tanaman aren dapat tumbuh baik dan mampu berproduksi pada daerah-daerah yang tanahnya subur pada ketinggian 500-800m di atas permukaan laut. Pada daerah-daerah yang mempunyai ketinggian kurang dari 500m dan lebih dari 800m, tanaman aren tetap dapat tumbuh namun produksi buahnya kurang memuaskan.”

Pohon enau atau aren dinamai bagot dalam bahasa Batak Toba. Di kecamatan Balige yang berketinggian sekitar 900m di atas permukaan laut, banyak bagot tumbuh sendiri. Dan bagot inilah yang tetap digunakan untuk menyadap tuak. Sedangkan di Medan yang hampir sama tingginya dengan permukaan laut, bagot tidak bertumbuh. Oleh karena itu, orang Medan mengambil sadapan dari pohon kelapa. Namun setelah diproses, minuman itu tetap dinamai tuak dalam masyarakat Batak Toba.

III. Produksi dan Distribusi Tuak

Saya menggambarkan dahulu mengenai produksi dan distribusi tuak di kampung halaman Batak Toba. Sebagaimana telah disinggung di atas, penyadap tuak disebut paragat (agat=semacam pisau yang dipakai waktu menyadap tuak) dalam bahasa Batak Toba. Setelah dipukul tandan berulang-ulang dengan alat dari kayu yang disebut balbal-balbal selama beberapa minggu, baru dipotong mayangnya. Kemudian membungkus ujung tandan tersebut dengan obat (kapur sirih atau keladi yang ditumbuk) selama dua-tiga hari. Dengan prosedur ini barulah milai datang airnya dengan lancar. Seorang paragat menyadap tuak dua kali sehari, yaitu pagi dan sore. Tuak yang ditampung pagi hari dikumpulkan di rumah paragat. Setelah ujicoba rasanya, paragat memasukkan ke dalam bak tuak sejenis kulit kayu yang disebut raru supaya cocok rasanya dan alkoholnya. Raru inilah yang mengakibatkan peragian. Resep membuat tuak berbeda-beda sedikit demi sedikit tergantung para paragat. Resep masing-masing boleh dikatakan “rahasia perusahaan,” maka tidak tentu siapa pun bisa berhasil sebagai paragat. Paragat harus belajar dahulu cara kerjanya. Biasanya anak seorang paragat mengikuti orang tuanya untuk belajar “rahasia” tersebut. Sepanjang saya ketahui, tidak ada paragat perempuan, mungkin karena kegiatan paragat sehari-hari yang turun ke jurang, menaiki pohon bagot dan membawa tuak yang tertampung ke kampung sangat keras untuk perempuan. Di desa LNH yang berjumlah kurang lebih 1,000 orang penduduknya, terdapat delapan orang paragat yang aktif. Semuanya ini laki-laki saja.

Sebagian paragat membuka kedai tuak sendiri, tetapi pada umumnya sebagian besar paragat menjual tuak kepada kedai atau agen tuak. Dengan dekimian paragat mendapat uang tunai setiap hari, maka taraf kehidupan paragat lebih tinggi daripada standar di desa LNH.

Di Medan tuak dibawa dari Percut, wilayah yang terletak di luar kota Medan. Di situ ada kebun kelapa khusus untuk mengambil tuak. Cara produksi tuak dari pohon kelapa hampir sama dengan tuak dari bagot.

IV. Kebiasaan Minum Tuak dalam Kehidupan Sehari-hari

Di daerah Tapanuli Utara, biasanya laki-laki yang menyelesaikan kerjanya berkumpul di kedai pada sore hari. Mereka berbincang-bincang, menyanyi, memain kartu, bercatur dan menonton televisi, sambil minum tuak. Pada umumnya seorang petani biasa minum tuak beberapa gelas sehari. Pada tahun 1997 segelas tuak berharga Rp. 300 di desa LNH. Kalau laki-laki, baik yang muda maupun yang tua minum tuak di kedai, tetapi jarang terdapat perempuan yang minum tuak di kedai bersama laki-laki, kecuali pemilik kedai atau isterinya. Ada juga laki-laki yang membeli tuak di kedai dan membawa botol yang terisi tuak ke rumahnya atau ke rumah kawannya untuk minum tuak di situ.

Sedangkan di kota Medan, laki-laki Batak Toba tidak tentu mempunyai kebiasaan minum tuak. Menurut informasi dari beberapa perantau Batak Toba dan observasi serta wawancara di lapo tuak, kebiasaan minum tuak tidak berhubungan dengan status sosial-ekonominya, melainkan berkaitan dengan tahap generasi migran. Dengan kata lain, perantau generasi pertama yang berasal dari Tapanuli Utara lebih cenderung minum tuak di Medan: bukan hanya orang-orang yang berstatus rendah sosial-ekonominya seperti tukang becah, tetapi yang agak tinggi stasus sosial-ekonominya seperti pegawai negeri juga minum tuak. Segelas tuak di Medan harganya kurang lebih Rp. 300 juga.

V. Pemakaian Tuak pada Kesempatan Tertentu untuk Kaum Wanita

Biasanya kaum wanita Batak Toba tidak minum tuak. Namun demikian, menurut tradisi Batak Toba, wanita yang baru melahirkan anak minum tuak untuk memperlancar air susunya dan berkeringat banyak guna mengeluarkan kotoran-kotoran dari badannya. Selama saya berada di desa LNH, seorang wanita muda melahirkan anak. Mertuanya menyediakan tuak untuk wanita tersebut, dan dia minum tuak setiap kali merasa haus. Dia minum tuak sebagai gantinya air minum, selama paling sedikit satu minggu setelah melahirkan anak.

Tetapi tidak tentu semua wanita Batak Toba yang baru melahirkan anak minum tuak. Wanita-wanita yang tinggal di kota-kota di perantauan seperti Medan biasanya tidak minum tuak, walaupun melahirkan anak. Mereka lebih cenderung minum bir hitam, susu atau obat sesuai dengan kemampuannya dan kesukaannya untuk memperlancar air susunya. Wanita tua pada umumnya mengakui bahwa mereka minum tuak ketika melahirkan anak semasa mudanya. Tetapi sebagian wanita muda yang tinggal di kampung tidak pernah minum tuak selama menyusui anaknya. Mereka menjelaskan alasan tidak minum tuak bahwa mereka merasa pening kalau minum tuak.

VI. Penggunaan Tuak dalam Upacara Adat

Tuak yang ada hubungannya dengan adat adalah tuak tangkasan: tuak yang tidak bercampur dengan raru. Tuak aslinya manis. Tuak yang manis disebut tuak na tonggi dalam bahasa Batak Toba. Karena tuak itu berasal dari mayang bagot, maka perlu diketahui legenda keberadaan batang bagot.

Seorang tokoh adat yang tinggal di Balige memberitahukan legenda tersebut sebagai berikut: Putri si boru Sorbajati dipaksa orang tuanya kawin dengan seorang laki-laki cacat yang tidak disukainya. Tetapi karena tekanan orang tua yang sudah menerima uang mahal, si boru Sorbajati meminta agar dibunyikan gendang di mana dia menari dan akan menentukan sikap. Sewaktu menari di rumah, tiba-tiba dia melompat ke halaman sehingga terbenam ke dalam tanah. Kemudian dia menjelma tumbuh sebagai pohon bagot, sehingga tuak itu disebut aek (air) Sorbajati. Karena perbuatan yang membunuh diri itu dianggap sebagai perbuatan terlarang, maka tuak tidak dimasukkan pada sajian untuk Dewata.

Tuak hanya menjadi sajian untuk roh-roh nenek moyang, orang yang sudah meninggal dan sebagainya. Tuak bermasuk sebagai minuman adat pada dua upacara adat resmi, yaitu (1) upacara manuan ompu-ompu dan (2) upacara manulangi.

Ketika orang yang sudah bercucu meninggal, ditanam beberapa jenis tanaman di atas tambak. Tambak pada aslinya merupakan kuburan dari tanah yang terlapis, tetapi kuburan modern yang terbentuk dari semen pula disebut tambak. Menurut aturan adat, air dan tuak harus dituangkan pada tanaman di atas tambak. Tetapi sekarang ini biasanya yang dituangkan hanya air saja, atau paling-paling tuak yang mengandung alkohol.

Dalam upacara manulangi, para keturunan dari seseorang nenek memberikan makanan secara resmi kepada orang tua tersebut yang sudah bercucu, dimana turunannya meminta restu, nasehat dan pembagian harta, disaksikan oleh pengetua-pengetua adat. Pada waktu memberikan makanan harus disajikan air minum serta tuak. Menurut informasi dari tokoh-tokoh adat dan observasi secara langsung, air minum dan tuak dua-duanya tetap disajikan kepada orang tua yang disulangi.

Kesimpulan Sementara

Tuak masih tetap berposisi sebagai minuman sehari-hari bagi laki-laki Batak Toba yang tinggal di kampung halaman dan bagi perantau yang berasal dari Tapanuli Utara. Namun sekarang ini, wanita Batak Toba yang baru melahirkan anak tidak tentu minum tuak. Atau boleh dikatakan bahwa wanita Batak Toba tidak harus lagi minum tuak selama menyusui anaknya.

Sebagai minuman tradisi Batak Toba, sebetulnya tuak harus digunakan pada upacara-upacara tertentu seperti manuan ompu-ompu dan manulangi. Tetapi ternyata makin hilang penggunaan tuak dalam upacara-upacara tersebut. Karena tuak manis yang tidak bercampur dengan raru susah terdapat.

Dari hasil penelitian yang saya terangkan di atas ini, saya menarik kesimpulan bahwa fungsi tuak dalam masyarakat Batak Toba sebagai minuman sehari-hari lebih menonjol pada saat sekarang ini daripada fungsi dalam upacara adat.

Catatan

  1. Istilah lapo dipakai biasanya hanya di kota-kota yang di luar Tapanuli Utara. Di kampung halaman di Tapanuli Utara kata lapo jarang dipakai. Kata yang sering dipakai di situ adalah kata kedai dari bahasa Indonesia. Mungkin karena di kota-kota di perantauan kata lapo dari bahasa Batak Toba perlu digunakan dengan sengaja untuk menentukan kedai yang diusahakan oleh orang Batak Toba.
  2. Saya ucapkan banyak terima kasih atas kerjasamanya kepada LIPI (Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia) dan Prof. Dr. Usman Pelly, MA di KOPERTIS Wilayah I. Lagi pula ucapan terima kasih sedalam-dalamnya saya sampaikan kepada Ajinomoto Foundation for Dietary Culture atas bantuan dalam pembiayaan. Artikel ini berdasarkan laporan sementara terakhir yang saya ajukan kepada LIPI pada Oktober 1997 dengan judul “The Socio-cultural Aspect of Palm Wine Consumption among Toba Batak Villagers and Migrants.” Artikel ini merupakan versi yang diperbaiki daripada laporan tersebut. Saya akan membuat artikel lain dalam bahasa Jepang untuk melaporkan hasil penelitian dengan lengkap.

Bibliografi

  1. Ginzel, L.S. 1984. Lapo Tuak, Arena Interaksi Sosial bagi Masyarakat Batak Toba. Skripsi (S1), Jurusan Antropologi, Fakultas Sastra, Universitas Indonesia.
  2. Ikegami, S. 1997. Historical Changes of Toba Batak Reburial Tombs: A Case Study of a Rural Community in the Central Highland of North Sumatra. Southeast Asian Studies (Center for Southeast Asian Studies, Kyoto University), 34(4): 643-675.
  3. Marpaung, P. 1989. Fungsi Sosial Minuman Tuak pada Masyarakat Urban Suku Bangsa Batak Toba di Pematang Siantar. Skripsi (S1), Jurusan Antropologi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Sumatera Utara.
  4. Sirait, W. dan O. Sihotang. 1986. Berbagai Fungsi Kedai Tuak. In Pemikiran tentang Batak, edited by B.A. Simanjuntak, pp.343-346. Medan: Pusat Dokumentasi dan Pengkajian Kebudayaan Batak, Universitas HKBP Nommensen.
  5. Sunanto, H. 1993. Aren: Budidaya dan Multigunanya. Yogyakarta: Penerbit Kanisius.
  6. Yoshida, S. 1991. Indonesia no Sake [Alchoholic Drinks in Indonesia]. Ethnological Quaterly (Kikan Minzokugaku) 15(2): 96-103. . 1992. Indonesia no Yashizake [Palm Wine in Indonesia]. The Stasus. 15(5): 58-59.

Tangis Namborru Buat Danau Toba

Indosiar.com
Reporter : Yulia Hendrika Bulo
Kamerawan : Mugi Wiyono
Last Updated: 8/11/2003

indosiar.com, Sumut - Keindahan Danau Toba adalah salah satu karunia Sang Pencipta bagi Sumatera Utara. Danau Toba merupakan danau tektonik terbesar di Indonesia dengan luas mencapai hampir 7 kilo meter persegi. Terbentuk dari letusan gunung berapi, dan sebagian reruntuhannya menjadi Pulau Samosir, yang terletak di tengah danau. Peristiwa alam ini membuat Danau Toba dikelilingi dinding-dinding bukit yang tingginya mencapai hampir 500 meter di atas permukaan laut.

Awal Juli lalu, ada kemeriahan di sekitar danau yang juga menjadi pusat kehidupan masyarakat sekitarnya. Pesta Rakyat Danau Toba. Masyarakat setempat yang mayoritas suku Batak, tampak lekat dengan nilai magis Danau Toba, yang kabarnya didiami oleh tujuh dewi leluhur mereka. Mereka menyebutnya 'namborru'. Para namborru inilah yang mereka percaya hingga kini menjaga Danau Toba. Kerusakan danau menyebabkan namboru marah, dan akibatnya rakyat di sekitar Danau Toba akan menuai bencana, seperti hujan lebat, atau rusaknya lahan pertanian mereka.

Oleh karenanya, sebelum menggelar suatu acara, rakyat suku Batak Toba meminta restu dan memohon perlindungan terlebih dahulu kepada roh para namborru, penunggu Danau Toba. Upacara Pangelekon, demikianlah nama ritualnya. Upacara Pangelekon merupakan tradisi dari agama nenek moyang suku Batak yang disebut permalim dan parbaringin. Menjelang Pesta Rakyat Danau Toba ini pun, sejumlah acara ritual telah disiapkan warga sekitar danau.

Beragam sesajian dan rangkaian ritual, dilaksanakan dalam upacara pemujaan pada leluhur ini, dipimpin seorang wanita yang dipilih oleh namborru. Menyertai namboru, turut pula sejumlah wanita desa yang sudah menikah, untuk memanjatkan doa guna meminta berkat dan perlindungan tuhan. Ketika memimpin upacara, wanita yang terpilih akan dirasuki roh namborru dan berperan sebagai namborru atau opung. Dalam ketidaksadarannya, ia membaca mantra dan berkata-kata, menyampaikan isi hati namborru kepada rakyat di sekitar Danau Toba. Sesekali ia menangis, menari-nari, sambil bersenandung.

Sesekali namboru memercikkan air jeruk purut atau air pangir pangurason, yang mereka percaya sebagai air suci, kepada para peserta upacara dan pada sesaji yang akan mereka persembahkan kepada namboru. Persyaratan sesaji disesuaikan dengan adat istiadat suku Batak, antara lain terdiri dari kambing putih dimasak 7 rasa, ayam merah 3 rasa, 7 jenis ikan yang berasal dari Danau Toba, dan sebagainya. Bersama seluruh peserta upacara, sesajian itu dibawa ke atas perahu, untuk selanjutnya dipersembahkan ke namboru, dengan cara dilempar ke danau.

Sementara di atas perahu, namboru dan wanita-wanita yang menyertainya menarikan tarian tor-tor sombah, diiringi alunan musik gondang Batak. Arah perahu, jenis lagu gondang Batak, dan tempat dimana sesajian dilempar ke danau, tergantung pada permintaan namboru. Selain dilempar ke danau yang dalamnya hingga ratusan meter, sesajian yang sudah diberkati namboru juga dibagikan ke peserta upacara. Dengan memakannya, mereka meyakini akan diberkati oleh para leluhur.

Kini tibalah acara yang dinanti-nanti. Pesta Rakyat Danau Toba dimulai. Rakyat di sekitar Danau Toba berduyun-duyun mendatangi lokasi utama pesta yang digelar di lapangan terbuka, untuk menyaksikan pertunjukan kesenian tradisional Batak. Tua-muda, dari kalangan sipil hingga para birokrat, sibuk mencari tempat strategis guna menyaksikan pesta kesenian Batak ini.

Selain seni budaya suku Batak, pesta rakyat juga menampilkan tarian Melayu, yang dibawakan dengan gemulai oleh pemuda dan pemudi. Tarian ini bercerita tentang keceriaan pergaulan muda-mudi. Perkembangan teknologi, tampak mewarnai kesenian ini, yang tidak lagi diiringi alunan musik dari alat musik tradisional secara langsung, tapi hanya melalui rekaman kaset. Konon, suku Batak dan penduduk asli Sumatera Utara sebagian besar berasal dari Melayu.

Pesta Rakyat Danau Toba adalah salah satu sisi peradaban warga, yang mendiami pinggiran perairan Danau Toba. Di sisi lain, Danau Toba juga dijadikan sebagai sumber penghidupan warga sekitar danau, yang mayoritas bermata pencaharian sebagai petani sayur mayur. Belakangan, jenis usaha keramba ikan pun mulai banyak dilirik warga.

Sayangnya, tidak semua keramba ikan yang dikembangkan masyarakat Kabupaten Simalungun, Toba Samosir, dan Tapanuli Utara ini mematuhi Peraturan Daerah Nomor 1 Thn 1990 tentang Tata Ruang Kawasan Danau Toba. Keramba ikan yang mereka usahakan tidak lagi hanya di zona budi daya, tapi juga memasuki zona pelestarian. parahnya, sejak awal, tidak ada pembagian batas yang jelas antara zona budi daya dan zona pelestarian.

Oleh karenanya, kehadiran keramba apung Danau Toba, dikeluhkan kalangan pecinta Danau Toba yang menghendaki Danau Toba tetap perawan. Apalagi keramba ikan nila dan ikan mas ini menghasilkan sampah organik, yang berasal dari kotoran ikan dan sisa makanan yang tidak termakan.

Selain keramba ikan, masyarakat yang tinggal di pinggir Danau Toba juga mengeluhkan pencemaran air Danau Toba yang biasa mereka gunakan untuk keperluan sehari-hari. Hadirnya peternakan itik dan babi menghasilkan limbah yang dialirkan ke danau. Keberadaan tanaman enceng gondok yang sengaja ditanam petani ikan tradisional di sejumlah sudut Danau Toba, juga berpotensi mengganggu keindahan dan kelestarian Danau Toba. Meski demikian, wajar saja jika para pengusaha keramba maupun ternak berlindung dibalik dalih, Danau Toba adalah milik mereka juga yang bisa mereka kembangkan.

Di tangan bijak warga di sekitar Danau Tobalah, kelestarian danau bergantung. Hal itu berarti tugas besar masyarakat suku Batak. Dan di akhir Pesta Rakyat Danau Toba lalu, dilakukan pula penobatan Raja Batak Toba, yang diharapkan bisa mengingatkan kembali rakyat Batak, agar menjaga alam dan budaya yang dianugrahkan Maha Pencipta bagi mereka.

Suku Batak terbagi menjadi lima, berdasarkan lokasi tempat tinggalnya. Dalam upacara penobatan Raja Batak Toba, keempat Raja Batak yang lainnya juga turut diundang. Kerajaan Batak, mencapai masa keemasannya di masa pemerintahan Raja Sisingamangaraja. Seorang Raja Batak, dipilih tidak berdasarkan kekayaan atau hanya karena keturunan saja, tapi juga berdasarkan kesaktian.

Dengan kesaktian dan pimpinan yang kuasa, seorang Raja Batak membina seluruh kerajaan dan tanah kekuasaannya. Penobatan seorang raja, dipimpin oleh pimpinan agama di sekitar Danau Toba, yang dipilih berdasarkan petunjuk Tuhan. Tandanya, ia haruslah seorang yang bisa berkomunikasi langsung dengan Yang Kuasa.

Raja yang dinobatkan akan diberi sejumlah senjata, sebagai lambang kekuasaan dan tanggung jawab menjaga rakyat dan wilayahnya. Diantaranya, tongkat, keris, yang konon, berasal dari Gunung Pusuk Buhit, di kawasan Danau Toba. Kebijaksanaan dari seorang Raja Batak untuk memimpin rakyatnya, melestarikan tanahnya, dan menjaga kejayaan leluhur, itulah yang diharap mereka yang mendiami daerah di sekitar Danau Toba dari pemimpinnya. Harapan tersebut juga datang dari warga seluruh pelosok negeri dan manca negara, yang menginginkan keindahan danau tetap lestari.(Idh)

Last Updated: 8/11/2003 10:55:43 AM

Tuesday, March 27, 2007

Batak Alphabet



The Batak people of Indonesia recorded information on genealogy, religion, divination, and magic on long strips of bark, some as long as thirty feet, which were folded accordion-style and bound between wooden covers. The book in this photograph contains two texts on divination, one on each side of the bark.


Batak Alphabet Batak

Quoted from Omninglot
Writing systems & languages of the world


Origin

The Batak alphabet, or surat batak, is descended ultimately from the from Brahmi script of ancient India by way of the Pallava and Old Kawi scripts.

Notable features

  • Batak is a syllabic alphabet - each consonant (aksara) has an inherent vowel. Other vowels or the absence of vowels can be indicated using diacritics which appear above, below or after the consonant letter.
  • Batak is traditionally written from bottom to top in vertical columns running from left to right on strips of bamboo held together with string.

Used to write:

The Batak languages of northern Sumatra - Karo Batak, Toba Batak, Dairi Batak, Simalungun/Timur, Angkola and Mandailing Batak, and occasionally Malay. In most Batak communities, only the datu (priests) are able to read and write the Batak alphabet and they use it mainly for calendars and magical texts.

There are slight variations in the letters and vowel diacritics used to write each language.

Karo Batak syllabic alphabet

Karo Batak is an Austronesian language with about 600,000 speaks in the central and northern part of the Indonesian island of Sumatra.

Karo Batak syllabic alphabet

Vowel diacritics with ka

Karo Batak vowel diacritics

Toba Batak syllabic alphabet

Dairi Batak, which is also known as Batak Toba and Batta, is an Austronesian language spoken by about 2 million people in the northern part of the Indonesian island of Sumatra.

Toba Batak syllabic alphabet

Vowel diacritics with ka

Toba Batak vowel diacritics

Dairi Batak syllabic alphabet

Dairi Batak, which is also known as Dairi, Pakpak and Pakpak Dairi, is an Austronesian language with about 1.2 million speakers in the northern part of the Indonesian island of Sumatra.

Dairi/Pakpak syllabic alphabet

Vowel diacritics with ka

Dairi/Pakpak vowel diacritics

Simalungun/Timur syllabic alphabet

Simalungun, which is also known as Timur and Simelungan, is an Austronesian language spoken by about 800,000 people in the northern part of the Indonesian island of Sumatra.

Simalung/Timur syllabic alphabet

Vowel diacritics with ka

Simalung/Timur vowel diacritics

Mandaling Batak syllabic alphabet

Mandaling Batak or Batta is an Austronesian language with about 400,000 speakers in the northern part of the Indonesian island of Sumatra.

Mandaling Batak syllabic alphabet

Vowel diacritics with ka

Mandaling Batak vowel diacritics

Note

The fonts used on this page were created by Dr Uli Kozok of The University of Hawai'i at Manoa.

Ada bahan untuk mempelajari surat batak dengan cara yang sangat mudah. Untuk mendapatkan bahannya dapat di klik belajar surat batak.


Batak















Batak (Indonesia)
From Wikipedia, the free encyclopedia

Total population
6 million (2000 census)

Regions with significant populations
North Sumatra: 4.9 million

Languages
Batak languages (Alas-Kluet, Angkola, Dairi, Karo, Mandailing, Simalungun, Toba), Malay, Indonesian

Religions
Christian, Muslim, Parmalim, Hinduism

Related ethnic groups
Malay


Batak is a collective term used to identify a number of ethnic groups found in the highlands of North Sumatra Indonesia. Their heartland lies to the west of Medan centred on Lake Toba. In fact the "Batak" include several groups with distinct, albeit related, languages and customs (adat). While the term is used to include the Toba, Karo, Pak Pak, Simalungun, Angkola and Mandailing groups, some of these peoples prefer not to be known as Batak.

Before they became subjects of the colonial Dutch East Indies government, the Batak had a reputation for being fierce warriors. Afterwards Christianity was embraced widely, and the HKBP (Huria Kristen Batak Protestan) Christian church is presently the largest Christian congregation in Indonesia.

Batak societies are patriarchal organized along clans known as Marga. The Toba Batak believe that they originate from one ancestor "Si Raja Batak", with all Margas, descended from him. A family tree that defines the father-son relationship among Batak people is called tarombo. For detailed information about Batak Marga check www.tarombo.net. Toba Batak are known traditionally for their weaving, wood carving and especially ornate stone tombs. Their burial and marriage traditions are very rich and complex. The burial tradition includes a ceremony in which the bones of one's ancestors are reinterred several years after death. This secondary burial is known among the Toba Batak as (mangongkal holi).

The Batak themselves today are mostly Christian with a Muslim minority. The dominant Christian theology was brought by Lutheran German missionaries in the 19th century. One of the most famous German missionaries involved was Ludwig Ingwer Nommensen. Christianity was introduced to the Karo by Dutch Calvinist missionaries and their largest church is the GBKP (Gereja Batak Karo Protestan), but there is a considerable Muslim minority. Mandailing Batak were converted to Islam in the early 19th century.

Batak speak a variety of closely related languages, all members of the Austronesian language family. There are two major branches, a northern branch comprising the Pakpak and Karo languages that are similar to each other but distinctly different from the languages of the southern branch comprising three mutually intelligible dialects: Toba, Angkola and Mandailing. Simalungun Batak is an early offspring of the southern branch. Some Simalungun dialects can be understood by speakers of Karo Batak whereas other dialects of Simalungun can be understood by speakers of Toba. This is due to the existence of a linguistic continuum that often blurres the lines between the six Batak dialects.

O Tano Batak


O Tano Batak is widely regarded as one of the unofficial “national anthems” of the Batak people of North Sumatra (Indonesia). It is a folk song about that tells the story of someone who has traveled all over the world but still remembers his homeland. Batak choirs often sing it at cultural festivals.





O TANO BATAK

Pencipta ; S. Dis Sitompul

O tano Batak haholonganku
Sai namasihol do au tu ho
Ndang olo modom
Ndang nok matangku sai namalungun do au
Sai naeng tu ho

Kor
O tano Batak sai naeng hutatap

Dapothononku tano hogodanganki
O tano Batak andingan sahat
Au on naeng mian di ho sambulon hi.

Molo dung binsar mataniari
Napanapuhon hauma disi
Denggan do ngolu
Si Ganup ari di namaringan di ho
Sambulon hi



O TANAH BATAK

(Terjemahan Indonesia: oleh Barita M. S)
Pencipta ; S. Dis Sitompul

O tanah Batak yang kucinta
Selalu aku rindu padamu
Tak bisa tidur, mataku tak dapat terlelap
Selalu aku ingin datang padamu.

Kor
O tanah Batak selalu ingin kupandang

Aku datangi tanah kelahiranku
O tanah batak kapan sampainya
Aku berada di kau ( disana), kerinduanku

Bila matahari sudah terbit
Yang membuat subur ladang – ladang
Sungguh baik kehidupan sehari – hari
Waktu aku ada di kau (disana)



O BATAK LAND

(English translation: Bruce Gale)
Composer ; S. Dis Sitompul

O Batak land, the land that I love
I always feel I am missing you
You know I can’t sleep, I can’t close my eyes
I just always desire to come to you

Chorus
O Batak land, I want to see you

I want come to the land of my birth
O Batak land, when I arrive there
I will be there always, I miss you

Whenever the sun rises in the sky
It makes the fields just flourish and thrive
So wonderful was life in those days
That is just how it was when I was there

Full Score


Video Clip

O Tano Batak

Victor Hutabarat