Links
Google
 

Thursday, March 29, 2007

Tuak dalam Masyarakat Batak Toba



Annual Report of the University of Shizuoka, Hamamatsu College
No.11-3, 1997, Part 5.

Tuak dalam Masyarakat Batak Toba:
Laporan Singkat tentang Aspek Sosial-budaya Penggunaan Nira
IKEGAMI, Shigehiro
Tuak in the Toba Batak Society:
A Preliminary Report on the Socio-cultural Aspect of Palm Wine Consumption

IKEGAMI, Shigehiro




Pendahuluan

Selama enam tahun ini sejak tahun 1992, saya mempelajari dinamika sosial dan kebudayaan dalam masyarakat Batak Toba, berdasarkan penelitian yang saya lakukan di propinsi Sumatera Utara. Fokus studi saya selama enam tahun ini adalah adat kematian dalam masyarakat tersebut [Ikegami 1997]. Selama penelitian tersebut, saya bergaul dengan masyarakat setempat dan mengikuti beberapa upacara adat secara langsung, sehingga saya menyadari pentingnya minuman tuak (nira) di kalangan masyarakat tersebut baik dalam kehidupan sehari-hari maupun dalam upacara adat. Kebanyakan orang Indonesia yang beragama Islam tidak minum minuman yang mengandung alkohol berazaskan ajaran agama tersebut. Akan tetapi tuak berposisi sebagai minuman khas Batak Toba, karena sebagian besar orang Batak Toba menganut agama Kristen yang tidak memantang minuman keras.

Walaupun tuak merupakan minuman penting bagi orang Batak Toba, sampai sekarang studi mengenai tuak yang berfokus pada aspek sosial-budaya boleh dikatakan masih sedikit saja. Umpamanya Shuji Yoshida, seorang etnolog Jepang, telah menggambarkan teknik produksi tuak [Yoshida 1991; 1992], tetapi dia tidak menjelaskan makna tuak dalam masyarakat Batak Toba. Selain itu, terdapat lagi tiga artikel yang tertulis oleh orang Batak Toba sendiri [Ginzel 1984; Marpaung 1989; Sirait dan Sihotang 1986]. Ketiga artikel ini terutama berfokus pada fungsi sosial lapo (kedai) tuak dalam kehidupan sehari-hari.1)

Kita bisa mendapat garis besar tentang apa sebenarnya lapo tuak tersebut dari ketiga artikel ini. Namun demikian, makna, pengertian, dan cara penggunaan tuak dalam masyarakat Batak Toba tidak dibahas secara luas dalam artikel-artikel ini. Oleh karena itu, saya merasa perlu dilaksanakan penelitian lapangan mengenai tuak yang meliputi penggunaan tuak baik dalam kehidupan sehari-hari maupun dalam kesempatan tertentu atau upacara adat. Penelitian ini dimaksudkan untuk menggambarkan penggunaan tuak dalam masyarakat Batak Toba secara sistematis dengan fokus pada aspek sosial-budaya. Dengan laporan singkat ini, saya menerangkan dahulu metodologi penelitian. Kemudian dilaporkan hasil penelitian secara ringkas.2)

Hal-hal yang tersinggung di bawah ini adalah sebagai berikut: (1) apa sebenarnya tuak dan pengertian tuak dalam masyarakat Batak Toba; (2) produksi dan distribusi tuak; (3) kebiasaan minum tuak dalam kehidupan sehari-hari; (4) pemakaian tuak pada kesempatan tertentu untuk kaum wanita; dan (5) penggunaan tuak dalam upacara adat.

I. Metodologi

Sejak akhir abad ke19 setelah masuk agama Kristen di tanah Batak, orang Batak Toba yang mendiami wilayah sekitar danau Toba mulai merantau ke dataran rendah di bagian timur di Sumatera utara yang biasanya disebut Sumatera Timur. Jumlah perantau ke daerah perantauan tersebut semakin bertambah sejak tahun 1910an, setelah Sisingamangaraja XII gugur dan pemerintah Belanda membuka jalan lalu rintas antara pantai timur dan pantai barat Sumatera yang melewati danau Toba. Setelah selesai perang kemerdekaan (1945-1949), banyak orang Batak Toba berdomisili kota-kota besar terutama seperti Medan dan Jakarta. Oleh karena itu saya memilih dua lokasi untuk penelitinan kali ini, yaitu kampung halaman dan perantauan. Tempat penelitian yang dipilih di kampung halaman adalah kecamatan Balige yang terletak di sebelah selatan danau Toba, khususnya desa Lintong Ni Huta (LNH) yang telah saya laksanakan penelitian dahulu.

Satu lagi saya memilih Kotamadya Medan sebagai tempat penelitian di perantauan bagi orang Batak Toba. Penelitian ini dilakukan selama dua bulan mulai Agustus 1997 sampai dengan Oktober 1997. Setelah mengurus perizinan penelitinan di Jakarta selama satu minggu, saya mengadakan penelitian di Medan selama dua minggu dan di kecamatan Balige selama lima minggu. Dalam penelitian di kecamatan Balige dan Medan, saya menggunakan tiga metode penelitian, yaitu (1) wawancara bebas dan wawancara berfokus (free interview and focused interview); (2) metode kajian kasus (case study) mengenai produksi, distribusi dan konsumsi
tuak ; serta (3) observasi partisipan (participant observation) pada kehidupan sehari-hari dan beberapa upacara adat.

Saya bertemu dengan beberapa perantau Batak Toba untuk mengadakan wawancara tentang pemakaian tuak di kota Medan. Selain itu saya mengunjungi beberapa lapo tuak untuk melihat secara langsung situasi minum tuak dalam kehidupan sehari-hari. Saya menghubungi pula beberapa tokoh-tokoh adat di Medan untuk memperlengkap informasi tentang pemakaian tuak
di Medan. Selama lima minggu di kecamatan Balige, saya bertemu dengan tokoh-tokoh adat untuk menanyakan pengertian tuak bagi masyarakat Batak Toba dan penggunaan tuak dalam upacara adat. Saya mewawancarai ibu-ibu yang telah pernah melahirkan anak mengenai pengalamannya minum tuak waktu melahirkan anak. Sementara itu saya mengikuti kegiatan penyadap tuak yang biasanya disebut paragat untuk mengetahui cara produksi tuak dan bertanya kepada pemilik kedai tuak tentang distribusi serta konsumsi tuak.

II. Apa Sebenarnya Tuak dan Pengertian Tuak dalam Masyarakat Batak Toba

Tuak merupakan sadapan yang diambil dari mayang enau atau aren (Arenga pinnata). Kalau dalam bahasa Indonesia, sadapan dari enau atau aren disebut nira. Nira tersebut manis rasanya, sedangkan ada dua jenis tuak sesuai dengan resepnya, yaitu yang manis dan yang pahit (mengandung alkohol). Hatta Sunanto [1983:17], seorang Insinyur pertanian, menerangkan: “Di
Indonesia, tanaman aren dapat tumbuh baik dan mampu berproduksi pada daerah-daerah yang tanahnya subur pada ketinggian 500-800m di atas permukaan laut. Pada daerah-daerah yang mempunyai ketinggian kurang dari 500m dan lebih dari 800m, tanaman aren tetap dapat tumbuh namun produksi buahnya kurang memuaskan.”

Pohon enau atau aren dinamai bagot dalam bahasa Batak Toba. Di kecamatan Balige yang berketinggian sekitar 900m di atas permukaan laut, banyak bagot tumbuh sendiri. Dan bagot inilah yang tetap digunakan untuk menyadap tuak. Sedangkan di Medan yang hampir sama tingginya dengan permukaan laut, bagot tidak bertumbuh. Oleh karena itu, orang Medan mengambil sadapan dari pohon kelapa. Namun setelah diproses, minuman itu tetap dinamai tuak dalam masyarakat Batak Toba.

III. Produksi dan Distribusi Tuak

Saya menggambarkan dahulu mengenai produksi dan distribusi tuak di kampung halaman Batak Toba. Sebagaimana telah disinggung di atas, penyadap tuak disebut paragat (agat=semacam pisau yang dipakai waktu menyadap tuak) dalam bahasa Batak Toba. Setelah dipukul tandan berulang-ulang dengan alat dari kayu yang disebut balbal-balbal selama beberapa minggu, baru dipotong mayangnya. Kemudian membungkus ujung tandan tersebut dengan obat (kapur sirih atau keladi yang ditumbuk) selama dua-tiga hari. Dengan prosedur ini barulah milai datang airnya dengan lancar. Seorang paragat menyadap tuak dua kali sehari, yaitu pagi dan sore. Tuak yang ditampung pagi hari dikumpulkan di rumah paragat. Setelah ujicoba rasanya, paragat memasukkan ke dalam bak tuak sejenis kulit kayu yang disebut raru supaya cocok rasanya dan alkoholnya. Raru inilah yang mengakibatkan peragian. Resep membuat tuak berbeda-beda sedikit demi sedikit tergantung para paragat. Resep masing-masing boleh dikatakan “rahasia perusahaan,” maka tidak tentu siapa pun bisa berhasil sebagai paragat. Paragat harus belajar dahulu cara kerjanya. Biasanya anak seorang paragat mengikuti orang tuanya untuk belajar “rahasia” tersebut. Sepanjang saya ketahui, tidak ada paragat perempuan, mungkin karena kegiatan paragat sehari-hari yang turun ke jurang, menaiki pohon bagot dan membawa tuak yang tertampung ke kampung sangat keras untuk perempuan. Di desa LNH yang berjumlah kurang lebih 1,000 orang penduduknya, terdapat delapan orang paragat yang aktif. Semuanya ini laki-laki saja.

Sebagian paragat membuka kedai tuak sendiri, tetapi pada umumnya sebagian besar paragat menjual tuak kepada kedai atau agen tuak. Dengan dekimian paragat mendapat uang tunai setiap hari, maka taraf kehidupan paragat lebih tinggi daripada standar di desa LNH.

Di Medan tuak dibawa dari Percut, wilayah yang terletak di luar kota Medan. Di situ ada kebun kelapa khusus untuk mengambil tuak. Cara produksi tuak dari pohon kelapa hampir sama dengan tuak dari bagot.

IV. Kebiasaan Minum Tuak dalam Kehidupan Sehari-hari

Di daerah Tapanuli Utara, biasanya laki-laki yang menyelesaikan kerjanya berkumpul di kedai pada sore hari. Mereka berbincang-bincang, menyanyi, memain kartu, bercatur dan menonton televisi, sambil minum tuak. Pada umumnya seorang petani biasa minum tuak beberapa gelas sehari. Pada tahun 1997 segelas tuak berharga Rp. 300 di desa LNH. Kalau laki-laki, baik yang muda maupun yang tua minum tuak di kedai, tetapi jarang terdapat perempuan yang minum tuak di kedai bersama laki-laki, kecuali pemilik kedai atau isterinya. Ada juga laki-laki yang membeli tuak di kedai dan membawa botol yang terisi tuak ke rumahnya atau ke rumah kawannya untuk minum tuak di situ.

Sedangkan di kota Medan, laki-laki Batak Toba tidak tentu mempunyai kebiasaan minum tuak. Menurut informasi dari beberapa perantau Batak Toba dan observasi serta wawancara di lapo tuak, kebiasaan minum tuak tidak berhubungan dengan status sosial-ekonominya, melainkan berkaitan dengan tahap generasi migran. Dengan kata lain, perantau generasi pertama yang berasal dari Tapanuli Utara lebih cenderung minum tuak di Medan: bukan hanya orang-orang yang berstatus rendah sosial-ekonominya seperti tukang becah, tetapi yang agak tinggi stasus sosial-ekonominya seperti pegawai negeri juga minum tuak. Segelas tuak di Medan harganya kurang lebih Rp. 300 juga.

V. Pemakaian Tuak pada Kesempatan Tertentu untuk Kaum Wanita

Biasanya kaum wanita Batak Toba tidak minum tuak. Namun demikian, menurut tradisi Batak Toba, wanita yang baru melahirkan anak minum tuak untuk memperlancar air susunya dan berkeringat banyak guna mengeluarkan kotoran-kotoran dari badannya. Selama saya berada di desa LNH, seorang wanita muda melahirkan anak. Mertuanya menyediakan tuak untuk wanita tersebut, dan dia minum tuak setiap kali merasa haus. Dia minum tuak sebagai gantinya air minum, selama paling sedikit satu minggu setelah melahirkan anak.

Tetapi tidak tentu semua wanita Batak Toba yang baru melahirkan anak minum tuak. Wanita-wanita yang tinggal di kota-kota di perantauan seperti Medan biasanya tidak minum tuak, walaupun melahirkan anak. Mereka lebih cenderung minum bir hitam, susu atau obat sesuai dengan kemampuannya dan kesukaannya untuk memperlancar air susunya. Wanita tua pada umumnya mengakui bahwa mereka minum tuak ketika melahirkan anak semasa mudanya. Tetapi sebagian wanita muda yang tinggal di kampung tidak pernah minum tuak selama menyusui anaknya. Mereka menjelaskan alasan tidak minum tuak bahwa mereka merasa pening kalau minum tuak.

VI. Penggunaan Tuak dalam Upacara Adat

Tuak yang ada hubungannya dengan adat adalah tuak tangkasan: tuak yang tidak bercampur dengan raru. Tuak aslinya manis. Tuak yang manis disebut tuak na tonggi dalam bahasa Batak Toba. Karena tuak itu berasal dari mayang bagot, maka perlu diketahui legenda keberadaan batang bagot.

Seorang tokoh adat yang tinggal di Balige memberitahukan legenda tersebut sebagai berikut: Putri si boru Sorbajati dipaksa orang tuanya kawin dengan seorang laki-laki cacat yang tidak disukainya. Tetapi karena tekanan orang tua yang sudah menerima uang mahal, si boru Sorbajati meminta agar dibunyikan gendang di mana dia menari dan akan menentukan sikap. Sewaktu menari di rumah, tiba-tiba dia melompat ke halaman sehingga terbenam ke dalam tanah. Kemudian dia menjelma tumbuh sebagai pohon bagot, sehingga tuak itu disebut aek (air) Sorbajati. Karena perbuatan yang membunuh diri itu dianggap sebagai perbuatan terlarang, maka tuak tidak dimasukkan pada sajian untuk Dewata.

Tuak hanya menjadi sajian untuk roh-roh nenek moyang, orang yang sudah meninggal dan sebagainya. Tuak bermasuk sebagai minuman adat pada dua upacara adat resmi, yaitu (1) upacara manuan ompu-ompu dan (2) upacara manulangi.

Ketika orang yang sudah bercucu meninggal, ditanam beberapa jenis tanaman di atas tambak. Tambak pada aslinya merupakan kuburan dari tanah yang terlapis, tetapi kuburan modern yang terbentuk dari semen pula disebut tambak. Menurut aturan adat, air dan tuak harus dituangkan pada tanaman di atas tambak. Tetapi sekarang ini biasanya yang dituangkan hanya air saja, atau paling-paling tuak yang mengandung alkohol.

Dalam upacara manulangi, para keturunan dari seseorang nenek memberikan makanan secara resmi kepada orang tua tersebut yang sudah bercucu, dimana turunannya meminta restu, nasehat dan pembagian harta, disaksikan oleh pengetua-pengetua adat. Pada waktu memberikan makanan harus disajikan air minum serta tuak. Menurut informasi dari tokoh-tokoh adat dan observasi secara langsung, air minum dan tuak dua-duanya tetap disajikan kepada orang tua yang disulangi.

Kesimpulan Sementara

Tuak masih tetap berposisi sebagai minuman sehari-hari bagi laki-laki Batak Toba yang tinggal di kampung halaman dan bagi perantau yang berasal dari Tapanuli Utara. Namun sekarang ini, wanita Batak Toba yang baru melahirkan anak tidak tentu minum tuak. Atau boleh dikatakan bahwa wanita Batak Toba tidak harus lagi minum tuak selama menyusui anaknya.

Sebagai minuman tradisi Batak Toba, sebetulnya tuak harus digunakan pada upacara-upacara tertentu seperti manuan ompu-ompu dan manulangi. Tetapi ternyata makin hilang penggunaan tuak dalam upacara-upacara tersebut. Karena tuak manis yang tidak bercampur dengan raru susah terdapat.

Dari hasil penelitian yang saya terangkan di atas ini, saya menarik kesimpulan bahwa fungsi tuak dalam masyarakat Batak Toba sebagai minuman sehari-hari lebih menonjol pada saat sekarang ini daripada fungsi dalam upacara adat.

Catatan

  1. Istilah lapo dipakai biasanya hanya di kota-kota yang di luar Tapanuli Utara. Di kampung halaman di Tapanuli Utara kata lapo jarang dipakai. Kata yang sering dipakai di situ adalah kata kedai dari bahasa Indonesia. Mungkin karena di kota-kota di perantauan kata lapo dari bahasa Batak Toba perlu digunakan dengan sengaja untuk menentukan kedai yang diusahakan oleh orang Batak Toba.
  2. Saya ucapkan banyak terima kasih atas kerjasamanya kepada LIPI (Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia) dan Prof. Dr. Usman Pelly, MA di KOPERTIS Wilayah I. Lagi pula ucapan terima kasih sedalam-dalamnya saya sampaikan kepada Ajinomoto Foundation for Dietary Culture atas bantuan dalam pembiayaan. Artikel ini berdasarkan laporan sementara terakhir yang saya ajukan kepada LIPI pada Oktober 1997 dengan judul “The Socio-cultural Aspect of Palm Wine Consumption among Toba Batak Villagers and Migrants.” Artikel ini merupakan versi yang diperbaiki daripada laporan tersebut. Saya akan membuat artikel lain dalam bahasa Jepang untuk melaporkan hasil penelitian dengan lengkap.

Bibliografi

  1. Ginzel, L.S. 1984. Lapo Tuak, Arena Interaksi Sosial bagi Masyarakat Batak Toba. Skripsi (S1), Jurusan Antropologi, Fakultas Sastra, Universitas Indonesia.
  2. Ikegami, S. 1997. Historical Changes of Toba Batak Reburial Tombs: A Case Study of a Rural Community in the Central Highland of North Sumatra. Southeast Asian Studies (Center for Southeast Asian Studies, Kyoto University), 34(4): 643-675.
  3. Marpaung, P. 1989. Fungsi Sosial Minuman Tuak pada Masyarakat Urban Suku Bangsa Batak Toba di Pematang Siantar. Skripsi (S1), Jurusan Antropologi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Sumatera Utara.
  4. Sirait, W. dan O. Sihotang. 1986. Berbagai Fungsi Kedai Tuak. In Pemikiran tentang Batak, edited by B.A. Simanjuntak, pp.343-346. Medan: Pusat Dokumentasi dan Pengkajian Kebudayaan Batak, Universitas HKBP Nommensen.
  5. Sunanto, H. 1993. Aren: Budidaya dan Multigunanya. Yogyakarta: Penerbit Kanisius.
  6. Yoshida, S. 1991. Indonesia no Sake [Alchoholic Drinks in Indonesia]. Ethnological Quaterly (Kikan Minzokugaku) 15(2): 96-103. . 1992. Indonesia no Yashizake [Palm Wine in Indonesia]. The Stasus. 15(5): 58-59.

No comments: