Links
Google
 

Friday, October 19, 2007

Patung Primitif Batak

Simbol Legitimasi Kekuasaan

yuyuk sugarman
Sinar Harapan, 22 September 2007


Yogyakarta – Dari berbagai kekayaan kesenian Batak, seni patung primitif merupakan salah satu produk yang nyaris terlupakan. Perhatian para peneliti selama ini selalu tertuju pada system masyarakat, sistem religi, hukum adapt, sastra dan musiknya. Akibatnya, eksitensi patung primitif terpinggirkan, walau patung merupakan jenis kesenian yang tahan lama dan sarat makna.

Hal ini dikatakan Daulat Saragi, dalam disertasinya yang berjudul “Dimensi Simbolis Patung Primitif Batak,” yang dipertahankan pada ujian terbuka di gedung Pascasarjana UGM, Kamis (20/9).

“Masyarakat Batak lama selalu menghadirkan patung pada suatu ritus dan menempatkan pada suatu wilayah suci dan keramat, karena diyakini sebagai simbol atau medium suatu kekuatan yang transenden,” ujar Daulat Saragi yang saat ini berhak menyandang gelar Doktor.

Ditambahkan Daulat Saragi, paduan motif antropomorfis dan zoomorfis pada patung Tunggal Panaluan dan Pangulubalang sangat bersahaja sebagai simbol adanya kekuatan adikodrati yang dipercaya mampu melindungi marga, rumah, desa dan menolak bala demi kelangsungan kosmis.

Dikatakan lebih lanjut oleh Daulat Saragi, dosen pada jurusan Seni Rupa Universitas Negeri Medan ini, makna simbolis patung primitif Batak – yang masih banyak dijumpai di sekitar pulau Samosir – berhubungan dengan pandangan hidup. Sebagai simbol presentasional atau penghadir, kata Daulat Saragi, harus dipahami bukan sekedar patung untuk patung, tetapi terdapat makna yang lebih luas dan mendalam di balik patung itu sendiri.

“Patung primitif Batak merupakan bentuk virtual space atau gambaran dari mitos yang menyebar dalam kehidupan masyarakat. Patung primitif sebagai living form dari ide-ide transenden menjadi imanen,” ujar lelaki kelahiran Pematang Siantar tahun 1964.

Dalam penjelasannya, Daulat Saragi mengemukakan, patung merupakan simbol legitimasi kekuasaan. Penempatan suatu jenis patung pada suatu wilayah yang jauh dari kampong, seperti di atas bukit atau di tengah hutan, di samping tujuannya menghormati roh leluhur, juga secara politis berfungsi sebagai klaim wilayah kekuasaan suatu huta (kampong).

“Mitos-mitos parabolis menjadi bumbu kehadiran patung, sehingga patung diyakini memiliki power legitimacy,” katanya lagi.

Demikian pula, lanjut Daulat Saragi, kehadiran patung dipercaya mampu memonitor kehidupan warga, memberikan informasi dan sekaligus menghukum orang-orang yang melanggar tertib kosmis.

“Manusia tidak mampu lari dari kekuatan anima (jiwa) patung. Ia selalu tunduk dalam kesadaran kosmis, tidak berdaya untuk menembus realitas di balik nilai-nilai patung primitif itu,” kata Daulat Saragi, bapak 2 anak ini.

Karenanya, ditegaskan lagi oleh Daulat Saragi, mengingat patung sebagai simbol merupakan teks filsafat Batak yang harus dibaca agar generasi muda Batak menjadi bangga sebagai bangsa Indonesia.

“Patung primitif Batak bagikan ensiklopedi yang menjelaskan segala cita, citra dan laku hidup masyarakatnya,” tuturnya lagi.



Teliti Makna Dibalik Patung Primitif Batak:
Daulat Saragi Raih Doktor Ilmu Filsafat UGM

Makna simbolis patung primitif Batak berhubungan dengan pandangan hidup masyarakatnya. Sebagai simbol presentasional atau penghadir, patung harus dipahami bukan sekedar patung untuk patung, tetapi terdapat makna yang lebih luas dan mendalam di balik patung itu sendiri. Patung primitif Batak merupakan bentuk virtual space atau gambaran dari mitos yang menyebar dalam kehidupan masyarakat.

“Ia sebagai living form dari ide-ide transenden menjadi imanen,” ujar Drs Daulat Saragi MHum.

Dosen Jurusan Seni Rupa FPBS Universitas Negeri Medan (UNIMED)menyampaikan hal itu saat melaksanakan ujian terbuka program doktor, hari Kamis (20/9) di ruang seminar Sekolah Pascasarjana UGM.

Patung merupakan simbol legitimasi kekuasaan, penempatan suatu jenis patung pada suatu wilayah jauh dari kampong, seperti diatas bukit atau di tengah hutan, disamping sebagai tujuan untuk menghormati roh leluhur, secara politis juga berfungsi sebagai klaim wilayah kekuasaan suatu huta (kampung). Mitos-mitos parabolis menjadi bumbu kehadiran patung, sehingga patung diyakini memiliki power legitimasi.

Menurut Daulat Saragi, patung primitif sebagai teori Sinoptik, kehadirannya dipercaya mampu memonitor kehidupan warga,memberikan informasi dan sekaligus menghukum orang-orang yang melanggar tertib kosmis. “Manusia tidak mampu lari dari kekuatan anima (jiwa) patung,ia selalu tunduk dalam kesadaran kosmis, tidak berdaya untuk menembus realitas di balik nilai-nilai patung primitif itu,” ujar pria kelahiran Pematang Siantar, 7 November 1964 ini.

Dalam desertasi “Dimensi Simbolis Patung Primitif Batak: kajian menurut Konsep Estetika Susanne Knauth Langer”, kata Daulat Saragi, estetika Langer membuka dan membentuk kerangka pemahaman filosofis seni patung primitif Batak. Ia sebagai simbol ekspresi dan bentuk hidup (living form).

“Senipatung ini,simbol ekspresi yang diciptakan bagi persepsi masyarakat pendukungnya. Seniman mengekspresikan perasaannya menangkap fenomena alam yang sulit untuk diungkapkan. Bentuk ekspresi inilah disebut karya seni yang merupakan proyeksi dari gejolak perasaan,” lanjut Saragi.

Keindahan seni primitif Batak, lebih lanjut kata Saragi tidak diarahkan pada penggambaran semestinya tetapi pada keindahan yang ada di baliknya. Yang utama, pembuatan patung bukanlah menuntut persamaan bentuk kasat mata dengan apa yang ditirunya, lebih dari itu untuk menemukan hakikat dari makna patung itu sendiri. Patung primitif Batak tidak ada yang memiliki bahan mendekati detail manusia atau binatang, tetapi dihadirkan dalam detail “mana”/kuasa symbol patung itu sendiri.

“Patung primitif dianggap benda keramat yang memiliki keunggulan alamiah dibandingkan benda-benda lainnya. Keunggulannya dalam kemuliaan, keluhuran dan kekuatan yang secara khusus hubungannya dengan manusia,” tandas suami Dra Melva Hutagaol, ayah dua putra yang dinyatakan lulus dengan menyandang predikat sangat memuaskan. (Humas UGM)