Links
Google
 

Sunday, September 30, 2007

Goar-goar Ni Gondang Gonsi batak Toba

from: tanobatak.wordpress.com


Niuhal ni : P. SITORUS pargonsi sian Parsambilan Kec. Silaen.

Angka onma goar-goar ni gonsi naung huparguruhon sian angka dongan pargonsi dohot sian angka natua-tua naumboto ruhut ni gonsi


Gondang Napitu:

  1. Gondang mula-mula
  2. Gondang somba-somba
  3. Gondang sampur marmeme
  4. Gondang didang-didang
  5. Sampur marorot
  6. Gondang simonang-monang
  7. Gondang sitio-tio
Gondang napitu on dipangido hasuhuton ditingki mambuat tua ni gondang.
Mangihuthon hatorangan ni angka natua-tua ndang apala sipangidoon ni suhut gondang hasahatan, Raja panggohi do mangido i.

Gondang tu Mulajadi taringot tu panompa na dihasiangan dohot hajolmaon.
  1. Gondang Debata Mulajadi
  2. Gondang Debata Guru
  3. Gondang Debata Asi-Asi
  4. Gondang Mula Jadi
  5. Gondang mula horas
  6. Gondang mula iang
  7. Gondang mula paningaon
  8. Gondang mula songti

Gondang pangidoan ni harajaon hagabeon dohot parhorasan


  1. Gondang siatur maranak
  2. Gondang siatur marboru
  3. Gondang siatur marpahompu
  4. Gondang siatur marnini marnono
  5. Gondang siatur mar ondok-ondok indik-indik
  6. Gondang namarhaha maranggi
  7. Gondang sibane-bane
  8. Gondang saurmatua
  9. Gondang saudara
  10. Gondang harajaon
  11. Gondang satahi saoloan
  12. Gondang amana/boruna
  13. Gondang parjugia sopipot
  14. Gondang paramak sobalon on
  15. Gondang parrambuan so ra mahiang
  16. Gondang siantan sidabuan siboto buhu ni taon
  17. Gondang siapul na tangis sielek na mardandi
  18. Gondang sahala pangajari/panuturi
  19. Gondang sidas-das boru muli
  20. Gondang siapoi anak mangoli
  21. Gondang olop-olop
  22. Gondang rompulima hotang marulak
  23. Gondang mangaliat
  24. Gondang sunini ampang naopat
  25. Gondang tarsingot tusahala dohot napinarsahalaan ni mula jadi
  26. Gondang batara guru (tuhan debata)
  27. Gondang bala bulan
  28. Gondang debata sori
  29. Gondang sori mangaraja
  30. Gondang sorba di banua
  31. Gondang sibagot ni pohan
  32. Godnang sariburaja
  33. Gondang siraja biak-biak
  34. Gondang puraja bonang-bonang
  35. Gondang sijonggi raja pareme
  36. Gondang Simarimbulubosi
  37. Gondang Singamangaraja
  38. Gondang patuan nagari patuan anggi
  39. Gondang Sagala raja
  40. Gondang Silahisabungan
  41. Gondang pagar ni aji
  42. Gondang Nairasaon
  43. Gondang dung dang soaloon mataniari sosuharon
  44. Gondang Raja Buntal
  45. Gondang Raja Uti
  46. Gondang Raja Mangalambung
  47. Gondang sipongki nangolngolan
  48. Gondang tuan ni api
  49. Gondang sijonggi paok-paok
  50. Gondang sijonggi bujur
  51. Gondang tuan jori ni tangan
  52. Gondang tampar dasar
  53. Gondang pangurason
  54. Gondang pane nabolon
  55. Gondang pusuk buhit
  56. Gondang sianjur mula-mula
  57. Gondang simanuk-manuk
  58. Gondang dolok surungan
  59. Gondang dolok tolong
  60. Gondang banua holing
  61. Gondang naga baling
  62. Gondang padoha
  63. Gondang taringot boru (naung dianggap dewi)
  64. Gondang siboru deak parujar
  65. Gondang si boru donda hatahutan
  66. Gondang siboru saniang naga dilaut
  67. Gondang si boru Naipospos
  68. Gondang siboru daeng namora
  69. Gondang siboru parmual sitio-tio
  70. Gondang siboru pinta maomasan
  71. Gondang siboru saroding
  72. Gondang siboru parhorasan
  73. Gondang siboru pareme
  74. Gondang boru nasindar dolok
  75. Gondang siboru tumbaga
  76. Gondang siboru lopian nauli
  77. Gondang sipiso somalim
  78. Gondang situan jori ni tangan
  79. Gondang siboru tapiomas palangki

Goar-goar ni gondang naposo bulung

  1. Gondang siburuk
  2. Gondang sibane doli
  3. Gondang sitapitola
  4. Gondang siboru illa-illa
  5. Gondang siboru enggan
  6. Gondang siboru sanggul miling-iling
  7. Gondang sibunga jambu
  8. Gondang pinasa sidung-dungon
  9. Gondang sibintang purasa
  10. Gondang silote dolok
  11. Gondang alit-alit aman jabatan
  12. Gondang marhusip
  13. Gondang parhabang ni siruba
  14. Gondang sahali tuginjang sahali tutoru
  15. Gondang tohur-tohur ni bajar-bajar langit somatombuk tano somagang-gang
  16. Gondang pidong patia raja
  17. Gondang pidong imbulu buntal
  18. Gondang anduhur titi, anduhur tabu
  19. Gondang sipitu dai
  20. Gondang ni pargonsi sisia sauduran pulik pulik pandohan.

Goar-goar ni gondang monsak
  1. Gondang haro-haro mandailing
  2. Gondang silima-lima ni hurlang
  3. Gondang siratutuslimapulu
  4. Gondang tongging
  5. Gondang ni napuran silima sabobohan sisada haroburan

Saturday, September 29, 2007

TRANSFORMASI GAGASAN PEMBUATAN ULOS


STUDI ETNOARKEOLOGI PARTONUN DI PEMATANG SIANTAR
Defri Elias Simatupang
Balai Arkelogi Medan


Abstract
“Ulos” is a traditional clothes made by Batak People. The Perception for “partonun” (people whom made “ulos”) is about how ways they make it.This article want to explain the comparison their main idea from the past until now, using ethnoarchaeology approach.

Kata kunci: ulos, partonun, Batak Toba


I. Pendahuluan

Ulos adalah kain tradisional tenunan khas Batak. Ulos selalu digunakan dalam berbagai pesta dan upacara adat pada sub etnis Batak Toba. Sejarah awal mula pembuatan ulos belum diketahui dengan pasti. Yang jelas, setelah leluhur Orang Batak mengenal benang sebagai bahan baku pembuat ulos, yaitu kapas (Gossypium Hirsutum). Tanaman kapas itu dapat tumbuh baik di dataran tinggi seperti di daerah Toba Samosir, tanah leluhur orang Batak. Namun kuat dugaan pengetahuan akan tanaman kapas sebagai bahan baku benang bersumber dari masyarakat non Batak, sebagai satu bentuk interaksi dengan budaya asing yang mengakibatkan terjadinya transfer ilmu pengetahuan. Bisa saja pengetahuan membuat / menenun ulos telah ada ketika leluhur Orang Batak masuk dan mendiami tanah Batak.


Kota Pematang Siantar adalah salah satu kota di wilayah Provinsi Sumatera Utara. Pematang Siantar menjadi kota transit bagi orang-orang dari Tapanuli menuju daerah lain di Sumatera Timur. Sebagai salah satu kota terdekat parserakanni halak Batak (daerah perantauan orang Batak dari tanah leluhur), wajar saja bentuk-bentuk kebudayaan Batak di kota ini masih terasa kental pengaruhnya. Sebagai bukti: adanya sekitar seribu lebih penduduk kota ini bermata pencaharian sebagai penenun ulos yang biasa disebut partonun (siaran Ki radio, www.internews.com). Hampir setiap hari, ratusan lembar ulos terjual di pasar-pasar lokal seperti di Pasar Horas dan Pasar Dwikora Parluasan, belum lagi yang dikirim ke luar kota hingga ke luar pulau.



II. Etnoarkeologi

Tulisan ini mencoba membandingkan hubungan antara para partonun dengan ulos-ulos buatannya dengan menggunakan pendekatan etnoarkeologi. Tulisan ini diharapkan mampu menjelaskan kemungkinan ada - tidaknya terjadi transformasi budaya. Etnoarkeologi adalah Ilmu Arkeologi yang menggunakan data etnografi untuk menangani masalah-masalah Arkeologi (Mundarjito,1981:17). Etnoarkeologi berasal dari dua kata, yaitu arkeologi dan etnografi. Arkeologi secara populer didefenisikan sebagai ilmu yang bertujuan mengungkapkan kebudayaan manusia masa lampau, melalui benda-benda yang ditinggalkannya (Haryono,1984:5). Sedangkan etnografi adalah pendeskripsian suatu kebudayaan dengan tujuan mendapatkan pandangan hidup dari sudut pandang emik (pendukung kebudayaan yang dikaji / dideskripsi) atau sudut pandang etik (orang - orang dari luar kebudayaan yang dikaji/ dideskripsi) (Spradley,1997:3). Studi etnoarkeologi memiliki tiga lingkup penelitian yaitu rekonstruksi perilaku, proses taksonomi/ transformasi budaya, dan alat penentu strategi penelitian arkeologi. Tulisan ini khusus meneliti tentang proses transformasi budaya pada pembuatan ulos masa kini yang dibandingkan dengan pembuatan ulos masa dahulu. Data tentang partonun masa lampau bersumber dari data historis kebudayaan Orang Batak, meskipun data-data khusus tentang para partonun belum diperoleh secara terperinci.


Kata transformasi diartikan sebagai perubahan bentuk atau struktur dari sebuah bentuk ke bentuk lainnya (Partanto,2001:758). Pengamatan transformasi pada pembuatan ulos oleh para partonun didasari atas wujud-wujud budaya itu sendiri, meliputi: perubahan konsep ide/ gagasan para partonun, perubahan tingkah laku/ aktivitas menenun ulos, dan perubahan fisik ulos sebagai hasil aktivitas (data artefaktual). Dari ketiga wujud kebudayaan tersebut, tulisan ini hanya mengamati transformasi dari wujud ide/ gagasan saja. Hal ini dikarenakan masih kurangnya data terhadap dua wujud kebudayaan yang lain. Ada perbedaan tipis antara defenisi kata ide dan gagasan. Berdasarkan Kamus Besar Bahasa Indonesia, ide adalah rancangan yang tersusun di dalam pikiran, sedangkan gagasan adalah hasil dari pikiran itu. Dengan kata lain gagasan sudah lebih kuat dibandingkan ide, karena gagasan sudah pasti menghasilkan perintah untuk beraktivitas sedangkan ide masih mengendap di alam pikiran manusia. Ulos adalah artefak hasil dari aktivitas yang berasal dari gagasan partonun. Tulisan ini akan melihat sejauh mana transformasi gagasan para partonun terhadap ulos itu sendiri dari masa lalu hingga masa kini seperti yang ditemukan di Kota Pematang Siantar.

III. Pembuatan Ulos

Ulos memiliki berbagai macam jenis, ukuran, cara pemakaian, dan tujuan pemakaiannya. Macam-macam jenisnya, antara lain : Ulos Sadum, Pinussaan, Mangiring, Bintang maratur, Sirara, Sitoluntuho, Bolean, Sumbat, Sibolang, Suri-suri, Tumtuman, Ragi Hotang, Ragi Pangko, Runjat, Djobit, Simarindjamisi, Ragi Hidup, dsb. Keanekaragaman nama-nama ulos tersebut dapat saja berbeda penyebutannya di suatu tempat dengan tempat lain. Namun pada prinsipnya masing-masing dapat diklasifikasikan berdasarkan bentuk gorga (ragam hias), ukuran serta tujuan pemakaiannya. Sedangkan untuk ukuran, pada masa kini ulos biasanya dibuat mulai dari ukuran kecil untuk anak-anak, sedang, hingga ukuran besar. Untuk cara pemakaian, ulos digunakan sebagai bahan pakaian, selendang/ selempang, dililitkan ke kepala, sebagai sabuk/ pengikat pinggang, dan sebagai alat menggendong anak (Marbun,1987:187--188).


Pengamatan terhadap para partonun di Pematang Siantar menunjukkan kalau pembuatan ulos menggunakan teknologi yang dalam dunia pertenunan dikenal dengan sebutan teknik ikat lungsi, yaitu: pembuatan ulos dengan cara mengikatkan benang yang disusun memanjang pada alat tenun. Tehnik bertenun dengan menggunakan teknik ikat lungsi juga dikenal luas pada masyarakat etnis Dayak Iban, Dayak Kantuk, Sumba, Flores Tanimbar, Toraja, dsb. Teknik ikat lungsi di Indonesia diduga datang dari daratan Asia Tenggara yaitu berupa alat tenun yang memakai kayu di pinggang dengan ragam hiasnya berbentuk geometris, pohon hayat dan manusia. (Chalid,2000:3--4). Berikut penjelasan singkat tentang alat-alat dan cara untuk membuat ulos, seperti yang dikenal dalam teknik ikat lungsi : 1. Terlebih dahulu benang dikeraskan memakai sejenis lem/ perekat dengan menggunakan alat yang dinamakan unggas dan pengunggasan, 2. Sesudah selesai diunggas, kemudian benang dikeringkan, lalu digulung dengan alat penghulhulan dengan cara memutar. Proses selanjutnya ialah bertenun (martonun), yakni dengan cara memasukkan benang ke dalam alat tenun yang terbuat dari kayu. Adapun bagian-bagian dari alat tenun adalah : hasoli (gulungan benang pada sebatang lidi sepanjang kira-kira 30 cm), turak (alat untuk memasukkan benang dari celah-celah benang yang ditenun, terbuat dari potongan bambu kecil menyerupai seruling yang ke dalamnya dimasukkan hasoli), hatudungan (alat untuk menggendorkan tenunan agar turak bisa dimasukkan), baliga (alat untuk merapatkan benang yang telah dimasukkan dengan cara menekan sampai beberapa kali, terbuat dari batang enau yang telah dihaluskan), dan pamunggung alat yang berbentuk busur panah, pada sisi kanan dan kiri terdapat tali untuk ditarik-tarik saat menenun. Bagian-bagian dari alat tenun itu merupakan satu kesatuan (unit) yang tidak bisa dipisah-pisahkan satu sama lain selama proses menenun (Sitanggang,1990:52--53). Selembar ulos membutuhkan banyak benang dengan aneka warna, yang nantinya masing-masing benang telah digulung dalam hasoli. Hasoli-hasoli itulah yang kemudian masuk didalam turak kemudian turak keluar masuk diantara benang - benang yang sudah direntangkan sebagai bakal ulos. Begitu terus-menerus proses mengerjakan ulos hingga rentangan benang-benang itu sedikit demi sedikit berubah menjadi kain. Selama masa bertenun tubuh si partonun terikat dengan peralatan tenun, sehingga tidak dapat bergerak dengan leluasa. Biasanya alat-alat tenun itu akan dilepaskan kalau si partonun hendak istirahat atau mau melakukan pekerjaan yang lain. Ketekunan seorang partonun menentukan lama-tidaknya sebuah ulos selesai dibuat. Biasanya butuh tiga - enam pekan untuk menyelesaikan Ulos Ragi Hidup sepanjang tiga meter (wawancara dengan M. br. Sipayung).

IV. Transformasi gagasan pembuatan ulos

Pada masa lalu, leluhur Orang Batak hidup di pegunungan yang jauh dari atas permukaan laut. Karena iklim yang dingin, mereka mendapatkan rasa hangat yang bersumber dari sinar matahari di siang hari dan perapian (kayu - kayu yang dibakar) di malam hari. Namun pada malam hari ketika sedang tidur, perapian tidak praktis digunakan karena resiko dapat berakibat terjadinya kebakaran. Kebutuhan mencari rasa hangat terutama pada malam hari adalah salah satu tuntutan hidup mereka. Maka secara alamiah berbagai ide muncul dalam pikiran untuk mampu menjawab tuntutan itu. Kemudian berbagai usaha pasti dilakukan untuk menemukan solusi. Kebutuhan akan pakaian adalah solusi yang mereka cari sebagaimana di tempat lain juga demikian. Pengetahuan pembuatan pakaian dimulai dari bahan - bahan yang masih sangat sederhana, seperti kulit kayu, kulit binatang, daun-daunan, dsb, sampai pada akhirnya tercipta ulos.


Ulos menjadi puncak kebudayaan materi (artefak) hasil akhir dari siklus wujud kebudayaan, yang berawal dari ide/ gagasan - melakukan usaha pekerjaan yang berkembang sebagai sebuah teknologi - hingga akhirnya menghasilkan artefak (ulos itu sendiri). Pasca ditemukannya ulos, masyarakat Batak Toba menjadikannya sebagai sebuah keterampilan yang umumnya dikuasai oleh para wanita dalam kehidupan sehari-hari. Namun pada masa ini, pekerjaan membuat ulos bukan menjadi pekerjaan utama, karena mata pencaharian utama masih di sektor pertanian. Mereka membuat ulos disela-sela waktu pekerjaan utama. Terutama bagi para ibu yang menjaga rumah dan anak-anak mereka. Istilah partonun pada masa ini belum tepat dipredikatkan pada mereka, karena pada masa ini membuat ulos belum menjadi sebuah profesi.

Fungsi ulos di masa awalnya hanya digunakan sebagai penghangat tubuh. Kemudian bertambah fungsinya menjadi benda hadiah bagi orang-orang yang mereka sayangi. Pada masa ulos berfungsi sebagai benda hadiah, ulos mulai masuk sebagai bagian paralatan adat yang sakral dengan aturan - aturan baku penggunaannya. Ide yang berkembang terhadap tehnik pembuatan ulos masa ini diduga menjadi puncak kebudayaan penenunan ulos. Profesi partonun sudah dikenal pada masa ini, khususnya bagi mereka yang dikenal terampil membuat ulos yang bernilai seni yang tinggi. Partonun seakan-akan berlomba mengekspresikan ungkapan kasih sayangnya kepada si bakal penerima ulos dengan membuat ulos sebaik mungkin. Tanpa disadari hasil kreativitas seni para partonun tersebut menghasilkan berbagai jenis ulos yang dikemudian hari memiliki nama dan aturan pemakaian yang berbeda-beda.

Partonun pada masa awal munculnya berbagai jenis ulos lebih tepat disebut sebagai seniman ulos karena menggabungkan antara tehnik pembuatan ulos dengan system religi masyarakat Batak Toba. Asumsi ini dibuat karena ulos masuk ke dalam konteks artefak perlambangan akan sesuatu maksud/ tujuan yang tidak harus dibuat atas dasar hubungan empiris saja. Ulos berhubungan dengan ide/ gagasan yang terelaborasi dalam kehidupan religiusitas Orang Batak masa dahulu yang kompleks (Sumardjo,2002:134--136). Ulos bukan hanya benda lambang, tetapi ulos merupakan manifestasi kehidupan religi yang terlambangkan oleh si pembuat (partonun) pada masa ini. Itu sebabnya ragam hias pada ulos umum dipakai dalam lambang-lambang religi lama di berbagai etnis di Indonesia. Tidak dapat dipastikan kalau hal itu merupakan "peniruan" bentuk-bentuk yang empirik, yang kemudian digeneralisasi oleh para pengamat masa kini (seperti gambar manusia, binatang, tumbuhan selalu ada pada kain-kain tenunan tradisional).


Ulos menjadi tidak sekedar kain biasa pada masa dahulu tetapi menjadi alat pemberian rahmat, berkat, perlindungan dari pihak hula-hula kepada pihak boru sebagaimana yang diamanatkan secara turun-temurun melalui sistem kekerabatan yang disebut dalihan na tolu. Dalihan natolu secara harafiah berarti ”tungku berkaki tiga”. Ia dipakai sebagai simbol sistem hubungan sosial masyarakat Batak Toba yang terdiri dari tiga kelompok unsur kekerabatan, yaitu : hula-hula, dongan tubu, dan boru. Pihak hula-hula adalah kelompok orang, yang posisinya "di atas", yaitu keluarga dari marga pihak perempuan yang harus dihormati oleh marga-marga yang memperistrikan atau memiliki ibu yang berasal dari marga pihak perempuan tersebut.


Pihak marga yang memperistrikan atau memiliki ibu dari marga pihak perempuan tersebut dinamakan sebagai pihak boru yaitu kelompok orang-orang yang posisinya "di bawah". Sedangkan pihak dongan tubu, yaitu kelompok orang yang posisinya "sejajar", yaitu : teman atau saudara semarga yang diharuskan untuk selalu menjaga persaudaraan agar terhindar dari perseteruan (Siahaan,1964:36--38, Simanjuntak, 2002:93--102). Dalihan na tolu bukanlah kasta karena setiap orang Batak memiliki ketiga posisi tersebut. Ada saatnya menjadi hula-hula, ada saatnya menempati posisi dongan tubu dan ada saatnya menjadi boru. Hingga kini setiap upacara adat ulos digunakan sebagai alat oleh pihak hula-hula untuk menyatakan rasa sayangnya kepada pihak boru. Ini merupakan salah satu bagian dari prinsip dalihan natolu (tiga falsafah hidup bersosial sesama Orang Batak), yaitu prisip elek marboru (penuh cinta kepada pihak boru). Falsafah itu diungkapkan dengan memberikan ulos oleh pihak hula-hula kepada pihak boru yang disebut mangulosi.

Pengamatan di masa kini, seperti di Kota Pematang Siantar ulos diperjual-belikan di pasaran tak ubahnya seperti barang dagangan biasa. Kedalaman makna filosofis dari selembar ulos telah berkurang dan cenderung lebih dinilai dari sudut pandang ekonomi. Harga selembar ulos dimulai dari harga dua puluh ribu sampai bisa mencapai jutaan rupiah (seperti dijual di Jakarta). Di balik tingginya nilai dan harga sebuah ulos, justru banyak partonun tingkat perekonomiannya masih kekurangan. Status sosial merekapun dianggap rendah sama seperti buruh upahan. Keadaan mereka diperparah lagi karena faktor penentu harga ulos ada di tangan para tokeh/ parkilang (distributor ulos ke pasaran, biasanya mereka memiliki sejumlah alat tenun dengan para partonun yang mereka gaji). Ani, seorang partonun di Pematang Siantar yang sudah lebih sepuluh tahun membuat ulos, mengatakan meskipun harga benang naik, upah partonun belum tentu bisa ikut naik. Ada saja alasan para tokeh/parkilang mengatakan kalau masih banyak ulos yang belum laku dijual menumpuk di gudang (wawancara Ki Radio terhadap informan, www.internews.com).


V. Penutup

Pembuatan ulos masa kini bila dibandingkan dengan masa-masa terdahulu terindikasi mengalami transformasi budaya. Transformasi dilihat pada gagasan partonun dari mulai masa lampau hingga masa kini. Di masa terdahulu gagasan membuat ulos adalah untuk sebuah tuntutan pemenuhan kebutuhan akan pakaian. Pada masa ini partonun bukan pekerjaan utama, tetapi hanya sebuah keterampilan yang umum dikuasai oleh para wanita Batak. Kemudian masa selanjutnya gagasan pembuatan ulos bertambah tujuan, yaitu untuk dijadikan sebagai hadiah dari pihak hula-hula kepada pihak boru yang diekspresikan dalam setiap aktivitas kehidupan religi adat Batak. Pada masa inilah partonun lebih tepat dikatakan seniman ulos karena membuat ulos yang bernilai seni yang tinggi sesuai dengan makna filosofis kehidupan religi masyarakat Batak Toba. Kemudian masa selanjutnya yaitu masa kini gagasan pembuatan ulos berubah menjadi usaha pelestarian warisan kebudayaan leluhur orang Batak. Sehingga sepantasnya partonun adalah sebuah pekerjaan yang membanggakan.


Di Pematang Siantar banyak partonun bekerja pada pemilik modal besar sehingga upah mereka sepenuhnya ditentukan oleh si pemiliki usaha. Tingkat perekonomian dan pendidikan formal partonun yang masih rendah mengakibatkan rendahnya daya saing pekerjaan untuk kemajuan usaha mereka. Muncul kekhawatiran kalau gagasan partonun membuat ulos pada masa yang akan datang hanya sekedar pekerjaan mendapatkan uang, maka nilai kebanggaan sebagai partonun akan semakin rendah. Pemerintah dan para tokeh/ parkilang sepatutnya berkoordinasi untuk memikirkan cara terbaik untuk peningkatan kesejahteraan mereka. Usaha mengejar kekayaan materi dan status sosial sepatutnya sejalan dengan usaha pelestarian kebudayaan warisan leluhur. Bila partonun sejahtera, tentu mereka akan bangga atas usaha dan sadar akan pelestariaan pekerjaan menenun ulos sebagai warisan kebudayaan leluhur orang Batak.


Kepustakaan

  1. Chalid, Suhardini, 2000. Tenun Ikat Indonesia. Jakarta: Museum Nasional
  2. http://www.nainggolan.net/ulos.htm
  3. http://www.internews.com, download siaran Ki Radio tentang kehidupan Partonun di P. Sinatar
  4. Tim Penyusun, 1994. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka
  5. Koentjaraningrat. 1980. Sejarah Teori Antropologi. Jakarta: Dian Rakyat
  6. Mundarjito, 1981. Etnoarkeologi Peranannya dalam Pengembangan Arkeologi Indonesia dalam Majalah Arkeologi Th IV No. 1--2. Jakarta: Universitas Indonesia
  7. Marbun & Hutapea, 1987. Kamus Budaya Batak Toba. Jakarta: Balai Pustaka
  8. Partanto, A. Pius, 2001. Kamus Ilmiah Populer. Surabaya: Arkola.
  9. Pritchard, E. E. Evans, 1984. Teori-teori tentang agama primitif. Jakarta: PLP2M press.
  10. Purba, O. H. S., 1997. Migrasi Spontan Batak Toba (Marserak). Medan: Monora
  11. Sibeth, Achim, 1991. Living with Ancestors The Batak peoples of the island of Sumatra. London:Thames and Hudson.
  12. Sinaga, Richard, 1999. Meninggal Adat Dalihan Natolu. Jakarta: Dian Utama
  13. Spradley, James P, 1997. Metode Etnografi. Yogyakarta: Tiara Wacana
  14. Sitanggang, Hilderia, 1990. Isi dan kelengkapan rumah tangga tradisional menurut tujuan, fungsi dan kegunaan suku bangsa Batak Toba, Daerah Tapanuli Utara, Sumatera Utara. Jakarta: Direktorat Sejarah Dan Nilai Tradisional
  15. Sumardjo, Jakob, 2002. Arkeologi Budaya Indonesia, Pelacakan Hermeneutis – Historis terhadap Artefak-Artefak Kebudayaan Indonesia. Yogyakarta: CV.Qalam

Informan
M. br. Sipayung (67thn), pedagang ulos di Pasar Horas P.Siantar. Wawancara dilakukan beberapa kali dari tanggal 6-18 Juni 2005 di tempat beliau berjualan ulos. Hasil wawancara yang didapatkan : pengetahuan tentang ulos, jenis-jenis ulos yang dijual beserta harganya.

Wednesday, September 26, 2007

kacapi



The kacapi is a small boat lute from the Bataks on Samosir island in Lake Toba, in North Sumatra. They are now mainly made as woodcarving souvenirs for tourists.

The kacapi (pronounced "kachapi") is made from one piece of wood, in a boat-shape. The back is hollowed out. There are 2 metal strings, which can be tuned by round wooden friction pegs on both sides of the open pegbox. The bridge is a raised bit of wood left in the middle of the body.

Usually the top of the pegbox, and the end of the body are nicely decorated.
If the front is left plain it may be a playable instrument; otherwise it is usually over-decorated with woodcarvings and difficult to play.

The entire instrument is painted in some dark brown colour, probably with shoe polish.

The kacapi seemed not very popular with players on Sumatra,
as I found only one boy able to play it, and could not find
any cassettes with pure kacapi music on it.

Monday, September 24, 2007

Mandailing-Batak script

Batak manuscript on tree-bark, Indonesia 19th century. Physical app.: 49 fols. (60 x 60 mm.) of Mandailing-Batak script in leporello form. Aprox. 8 columns to page in black ink. Several notes and charts and tables. The bark consists of two pieces, strechting together 3 meters. The bark folio’s are protected and attached to two wooden covers.

The material on which is written, is a kind of bark that is formed each year between the wood and the real outer bark of the aloe tree. This precious tree is found in South-East Asia. Even Diosourides (1st cent. CE) quotes this tree and it’s bark as excellent writing material. The long straps are folded and fixed on both ends to a wooden board, often engraved or sculptured. Thus a “pustaha” is created. Most texts have animistic-religious, medicinal or occult contents, and are used solely by animistic priests.

Friday, September 21, 2007

Batak Calendar

Batak calendar is not a calendar in the modern sense of the word, but a diviner’s instrument to identify auspicious days. The 12 or 13 squares along the bamboo’s length denote the months, while the 30 running across it denote the days.

The first month of the Batak calendar is Sipaha Sada, coincide with April. The other months are: Sipaha Dua = May, Sipaha Tolu = June, Sipaha Opat = July, Sipaha Lima = August, Sipaha Onom = September, Sipaha Pitu = October, Sipaha Walu = November, Sipaha Sia = December, Sipaha Sampulu = January, Li = February, and Hurung = March.

Each month has 30 days, with certain name, beginning from the first day Artya = 1, Suma = 2, Anggara = 3, Muda = 4, Boraspati = 5, Singkora = 6, Samisara = 7, Antian Ni Aek = 8, Suma Ni Mangadop = 9, Anggara Sampulu = 10, Muda Ni Mangadop = 11, Boraspati Ni Tangkup = 12, Singkora Purnama = 13, Samisara Purasa = 14, Tula = 15, Suma Ni Holom = 16, Anggara Ni Holom = 17, Muda Ni Holom = 18, Boraspati Ni Holom = 19, Singkora Mora Turun = 20, Samisara Moraturun = 21, Antian Ni Angga = 22, Suma Ni Mate = 23, Anggara Na Begu = 24, Muda Ni Mate = 25, Boraspati Na Gok = 26, Singkora Duduk = 27, Samisara Bulan Mate = 28, Hurung = 29, Ringkar = 30.

And each hour has a name in 24 hours a day, as follows: 1 a.m. = haroro ni panangko, 2 a.m. = martahuak mirik, 3 a.m. = martahuak manuk pasadaon, 4 a.m. = bola-bola ijuk, 5 a.m. = torang ari, 6 a.m. = bincar mataniari, 7 a.m. = manyogot, 8 a.m. = tarbakta, 9 a.m. = tarbakta raja, 10 a.m. = sagang, paragakkon mangan, 11 a.m. = humara hos, 12 = hos, 1 p.m. = guling, 2 p.m. = guling dao, 3 p.m. = tolu gala, 4 p.m. = dua gala, 5 p.m. = andos potang, 6 p.m. = bot, bonom mataniari, 7 p.m. = samon, 8 p.m. = hatiha mangan, 9 p.m. = tungkap hudon, 10 p.m. = sampe modom, 11 p.m. = sampe sinok modom, 12 p.m. = tonga borngin.

The Bataks zodiacs are: Mesa = Gemini, Marsoba = Taurus, Nituna = Aries, Harahata = Cancer, Singa = Leo, Hania = Virgo, Tola = Libra, Mortiha = Scorpio, Dano = Sagitarius, Morhara = Capricornus, Morhumba = Aquarius, and Mena = Pisces

Thursday, September 20, 2007

Pidong Si Putik



Modern Spelling


Di sada tingki, adong ma sada kaluarga Pidong Si Putik tinggal di sada garasi. Di sada ari, natorasni Pidong on lao ma habang laho mangalului siallang on ni nasida dohot anakhon na i, alai tinggal ma anakhon na i holan halaki di jabu.

Dung sadia leleng, ro ma mulak Bapa ni Pidong on tu asar na i.

“Aha na masa?” ise na mambahen hamu mabiar, “Songon na mabiar hian hamu sude!” nina Bapa ni Pidong on.

“Songon on, Bapa,” nina anak na i, “adong apala ipe ro sada mahluk na roa hian dung i balga hian. Berengon songon na laga dung i seram hian, di bereng ma asar na mi bollang. Mabiar hian hami alani i!”

“Ido nga tu dia ibana?” nina Bapa na i.

“Hmm, dompak an do ra lao,” nina halak i.

“Paette ma di son!” nina Bapa na i, “Asa hu lumba ibana.” Dung sadia leleng, lao ma Bapa nai habang mangalumba mahluk i.

Dung sahat ibana di inganan ni si mahluk i, tarida ma sada Babiat na mardalan-dalan di si.

Alai dang mabiar Pidong i tusi Babiat i. Pintor songgop ma ibana tu tanggrung ni Babiat i jala di songgak ma ibana. “Aha do maksutmu ro tu jabu na mi?” nina Bapa ni Pidong i jala pabiar-biar anakhon hu?” dang di pardulihon Babiat i hata ni Pidong i jala torus ibana lao.

Alani i, disonggak Pidong i ma muse mansai gogo tu si Babiat i, “Asa iboto ho, dang adong urusan mu di jabu ku! Awas molo ro ho muse sahali nai,” jawab ni si Babiat i, “Ba ni ida ma hadoan! Ise haroa na lomo rohana tu jabum?” Nina Babiat i huhut mangangkat pat na sambariba. “Molo barani ho, huropang annong tanggurung mi hatop!”

Dung i, habang ma Pidong i tu asar na i.

“Nunga beres be amang,” nina Bapa na i, “nunga hu leon parsiajaran tu si parjahat i. Dang na barani ro be i.”

Pidong Si Putik (Batak Script)



Burung Kutilang

Pada jaman dahulu, ada seekor burung kecil kutilang yang membuat sarangnya di sebuah garasi. Kemudian dia tinggal di sana bersama dengan keluarganya. Suatu hari dia dan pasangannya pergi keluar. Mereka hendak mencari makan dan memberikannya kepada anak-anak mereka, dan burung-burung muda benar-benar sendirian di dalam sarang ketika induk mereka pergi.

Selang beberapa saat, si ayah kutilang kembali ke sarang.

„Apa yang terjadi di sini?“ dia bertanya „Kalian kelihatan seperti penuh ketakutan!“

„Oh, ayah!“ mereka berkata, „suatu makhluk besar yang menakutkan baru saja datang kemari. Tampangnya membuat kami merasa sangat takut! Dia melihat ke dalam sarang kita dengan matanya yang besar dan liar, dan sekarang kami sangat ketakutan!“

„Oh,“ si ayah burung berkata, „Ke tempat mana dia pergi?“

„Dia pergi ke arah sana!“

„Tunggu di sini, anak-anak“ si ayah burung berkata, „Aku akan mengajar makhluk itu sesuatu yang dia tidak akan lupakan. Jangan takut sekarang, anak-anak! Aku akan tangkap dia.“ Kemudian dia mengikuti makhluk itu.

Dia terbang berkeliling dan melihat seekor singa sedang berjalan di sana. Tetapi si burung kutilang tidak merasa takut. Dia duduk di punggung singa itu dan berteriak, „Mengapa engkau datang ke sarangku dan membuat anak-anakku begitu ketakutan?!“

Singa itu tidak mendengar burung kutilang itu. Dia hanya berjalan dan berjalan.

Si burung kutilang menjadi tambah marah karena itu. Dia berteriak kepada singa itu lebih keras, „Engkau tidak berhak datang ke sarangku, aku beritahukan kepadamu! Kalau engkau datang lagi“, dia berkata, „engkau akan lihat apa yang terjadi! Aku tidak ingin melakukan ini“, dia berkata, dan dia mengangkat salah satu kakinya, „tetapi aku akan mematahkan punggungmu seketika!“

Dan dia terbang kembali ke sarangnya.

„Aku sudah membereskannya, anak-anak“, dia berkata, „Aku sudah membuat dia takut. Dia tidak akan kembali lagi.“

Bahasa Batak



Language information: “Batak” is a group label for a number of ethnic groups and their languages of the northern highlands of the Indonesian Island of Sumatra (Sumatera) and some surrounding islands:


Northern:

  • Dairi (southwest of Lake Toba around Sidikalang)
  • Karo (west and northwest of Lake Toba)
  • Alas-Kluet (northeast of Tapaktuan and around Kutacane)
Simalungan:
  • Simalungun (northeast of Lake Toba)
Southern:
  • Angkola (Sipirok area)
  • Toba (Samosir Island and east, south and west of Lake Toba)
  • Mandailing (northwest coast)

Of these, Angkola and, more widely, Mandailing approaches the status of general Batak.


Most Bataks speak the national language, Indonesian, as well, and this language variously influences the Batak languages. Batak languages are used as foreign languages by some local speakers of Indonesian and Chinese languages.


Traditionally, the Batak languages are written with several closely related varieties of the Batak script, which, like most scripts of the Philippines, is derived from the ALL languages and dialects are beautiful, precious gifts. So cherish yours and others! Share them with the world! Brahmi-based Pallava script of Southern India. Though Batak script tradition is being continued by some, these days the tendency is to use the Roman script and to generally follow the spelling system used for Indonesian.


Much outsider’s pioneering work on and with Batak languages has been done by the Lutheran missionary Ludwig Ingwer Nommensen (1834–1918) who grew up in predominantly North-Frisian- and Low-Saxon-speaking Schleswig-Holstein, then under Danish administration, now under German administration. Today’s predominantly Lutheran Batak people consider him a “holy person” (ompu i).

Genealogy: Austronesian > Malayo-Polynesian > Sumatran > Northern > Batak Historical

Lowlands language contacts: Dutch


Wednesday, September 19, 2007

Batak House Ornament



One of batak's traditional house ornament. Chicken. This symbol almost found in every traditional house in Sumatra and Sulawesi.


Friday, September 14, 2007

Batak Toba Houses (up till 20th century)

from http://www.orientalarchitecture.com/


The Batak Toba are one of six Batak tribes that inhabit northern and central Sumatra. Each tribe has a distinctive culture and architectural style. Two Batak tribes are Muslim, while the the Toba and another tribe are Christian. The Batak Toba people are concentrated around Lake Toba, the world's largest caldera lake. Their houses are among the most distinctive in Indonesia, with their famous boat-shaped roofs and finely-decorated carvings.


Batak Toba houses are found in groups of ten or less, constituting small villages. Because of frequent warfare among the other tribes in the past, the houses are built close together, often side-by-side (though rarely connected). Since much of the area is wet year-round, the Batak place their buildings on stilts to avoid flooding and dampness. A typical village consists of a row of houses flanking a corresponding number of small rice granaries, one for each house. Between the two rows of buildings runs a street called an "alaman", which used to serve as a workyard and as a place for drying out rice in the hot sun. Nowadays, most of the granary buildings have been converted into houses, but their original purpose remains recognizable since the granaries were always built on six pillars, while houses had more.


The Batak Toba house is organized vertically into three distinct zones. The lower zone--the area beneath the house raised on piers--functioned as a work area and as an open-air pen for animals. The next zone—the floor of the house—is a living area where as many as four different families crowded together (nowadays there is usually one family per house). Ladders were once used to access the living area from the ground, so that in times of war the ladder could be quickly retracted and the opening sealed. At present, many families have installed stairs for convenience.


The highest and most important level of the house is the upper storey, which extends about 1/3 of the depth in from the front of the house. In this area family valuables and ancestral shrines are located. In front of this area, facing the street, is a verandah used for open-air storage.
The roofs of the Batak Toba houses are formed of sugar palm fiber thatch, held together with rattan cords. However, many houses have abandoned the labor-intensive thatched roof and have converted to zinc metal roofs, which are far more durable in the humid climate.



Facade of a Batak Toba house, with the characteristically steep rooflines.














Closer view, showing the intricate wood carvings on the outside of the storage area on the main floor of the house.

















Note how the house is about 2 1/2 meters above the ground.


















Profile of the house, showing the characteristic boat-shaped roof.















Facade of another Batak Toba house.

















Closeup of the entrance and the storage space above.



















Ridge of the house.


















Batak Toba house in context, along a road in a village.









Corner of the house. Note the small window.









Another typical Batak Toba house .









The Karo Batak village

















The Karo Batak village of Serdang near Kabanjahe in North Sumatra. In the background is a small longhouse which accommodates several families.

The roof of the longhouse is covered with ijuk fibre.

In the foreground is a village warung complete with satellite dish.

Batak-Handschrift. Prayers and Magic Formulars



Apart from rock, clay and papyrus belonged smoothened tree bark to the most used natural raw materials upon which laws, business texts, letters, and literature was written down in Egypt and in the Near East since the 4th Century b.C. Even after the expansion of paper book forms out of tree bark and other natural materials continued to be used for religious or ritualistic purposes for some time.



  • Title: Batak-Handschrift. Prayers and Magic Formulars
  • Place: Sumatra
  • Date: 18th/19th century
  • Size: Accordion fold album out of tree bark inbetween wood boards
  • Dimensions: 19,5 x 200 x 8 cm
  • Library: Die Deutsche Nationalbibliothek
  • Shelfnumber: Deutsches Buch- und Schriftmuseum der Deutschen Bücherei Leipzig: 1958: Or 1
  • Provenance: Klemm Sammlung
  • Document type: Manuscript
  • Subject: Religion

Wednesday, September 12, 2007

Instrumen Batak di Tengah Pentas Balet


Pementasan Namarina Youth Dance

Sejumlah penari balet dari Namarina beraksi di Gedung Kesenian Jakarta, Jakarta, Minggu (21/1) sore. Pentas tari balet ini merupakan bagian dari rangkaian acara untuk memperingatan 50 Tahun berdirinya Sanggar Balet Namarina.

Runtuh lagi anggapan sesat yang terkadang masih ada itu. Bertambah lagi bukti, dalam ranah seni, batas-batas wilayah yang dalam ranah politik sering menjadi sumber konflik, ternyata tidak berlaku. Perbedaan budaya dari berbagai wilayah di dunia, justru menjadi nilai tambah saat tampil bersama.

Adalah kelompok balet Namarima Youth Dance (NYD) yang menguatkan asumsi tersebut. Mereka memberikan bukti mengenai kesahihan rumusan tersebut saat menampilkan bagian terakhir koreografi Limapuluhtahun di Gedung Kesenian Jakarta, Minggu (21/1)

Koreografi karya Sussi Anddri itu sejatinya terdiri dari tiga bagian. The Beginning, The GrowthThe Future. Ketiganya muncul sambung menyambung dalam rangkaian pentas memperingati lima puluh tahun perjalanan kelompok balet terkenal di Indonesia, Namarina. dan

Hasapi, kecapi khas Batak, gondang, ini juga alat musik dari Tanah Batak terbukti bisa menyatu dalam pentas balet. Di Gedung Kesenian Jakarta (GKJ), keharmonisan antara nada suara alat-alat musik itu bukan sekedar menjadi pengiring kelenturan para pebalet.

Alat musik itu terbukti memperkaya keindahan gerak balet. Warna Batak memang baru muncul pada bagian The Future. Bagian pertama, menggambarkan awal perjalanan almarhum Nanny Lubis, pendiri Namarina. Setelah itu, masa pengembangan Namarina. Kedua bagian pentas balet yang menggambarkan kedua masa tersebut diiringi permainan piano Iravati M Sudiarso dan Aisha A Pletscher. Maka karya Johan Sebastian Bach pun yang terasa agung semakin memberi warna pebalet-pebalet yang tampil.

Kaya

Ulos Ragidup, kain khas Batak berkualitas tinggi dipajang juga tampak jelas di panggung. Di sebelahnya tampak gambar seorang ibu dengan kain penutup kepala khas Batak tengah menggendong anaknya.

Tata panggung dan cahaya yang digarap apik semakin menguatkan keinginan yang dicapai pada bagian The Future. The Future sebagai bagian akhir nomor Limapuluhan menggambarkan harapan Pimpinan dan Direktur Artistik Namarina, Maya Tamara tentang masa depan Namarina.

Maka di atas pentas, saat hasapi, gondang dan sitar elektrik melantunkan nomor berjudul Born, saat pebalet mendemonstrasikan keseimbangan dan kelenturan anggota tubuhnya, persoalan asal usul balet dan hasapi serta gondang sesaat terlupakan. Yang ada adalah tontonan mengasyikkan.

Irwansyah yang menyusun komposisi musiknya dari Gondang Pangharoanan, sebuah nomor yang di Tanah Batak dahulu sering dimainkan untuk menyambut kelahiran, berhasil memberikan ruh sakral pada penampilan balet malam itu.

Lebih unik lagi, di atas panggung, para pebalet bukan hanya mendemonstrasikan teknik-teknik balet yang sering terlihat dalam berbagai pertunjukan. Mereka juga bisa membawakan Tor Tor, tari adat Batak yang terkenal itu.

Pebalet itu menaikkan kedua tangannya lalu terlihatlah gerak jemari mereka yang tengah membawakan Tor Tor. Suara gondang, hasapi, sitar dan beragam perkusi lainnya terasa nikmat.

Beberapa menit sebelum The Future berakhir, beberapa pebalet muncul dari belakang dari samping tempat duduk penonton. Berjalan pelan sambil membawa lilin kecil. Mereka kemudian menyimpan lilin itu di bibir panggung. Jumlahnya lima puluh buah. Angka yang menunjukkan perjalanan Namarina sebagai kelompok orang yang ingin terus menjaga kesehatan dan kelenturan tubuhnya. Dan bisa menari dengan baik tentunya.

Pentas NYD sekaligus mengisyaratkan keberhasilan Maya Tamara dan kawan-kawannya melangkah lebih jauh setelah sibuk mengurus Namarina.

Riang

Sebelum Limapuluh tampil, penonton yang hampir sebagian besar adalah anak muda menikmati nomor-nomor balet kontemporer yang lebih riang. Pentas diawali dengan penampilan pebalet yang membawakan karya berjudul Venice Journey karya Dominique Genevois. Setelah itu, sejumlah pebalet remaja dengan mengenakan kostum pakaian sehari-hari yang mencerminkan keriangan remaja tampil penuh semangat.

Jangan salahkan penonton remaja yang kegirangan menyaksikan saat rekan-rekan mereka menari diiringi lagu I'am Alive yang muncul dari CD Celine Dion. Berbahagialah mereka yang bertubuh sehat dan mau menata tubuhnya untuk dunia seni gerak. Almarhum Nanny Lubis, pendiri Namarina pasti bahagia jika bisa menyaksikan generasi muda yang mengikuti jejaknya, menjadi pebalet yang baik. [Pembaruan/Aa Sudirman]

Tuesday, September 11, 2007

Alim Tree



Tree-Bark Manuscript or Batak Divination Book in Toba-Batak language from the end of the 19th century. There are 2 calligraphed texts with original illustrations. One side has 44 so-called pages or sides with 20 pictures - generally birds, men and graphic signs. The other side has 43 so-called pages and 30 pictures of which the last is a very curious dancing man with his hair tied up in the air, with a bird on top of it. Complete in bark-folded leporello (size 16x480cm).

The Batak were the only “primitive people” who could write. These manuscripts were usually written by medicine men or Datu and the text mainly deals with divination, magic medicine and history of these Central Sumatra people. The bark used is called (in Latin) “Aquilaria malacensis” or Alim Tree. As usual some marginal blackening by smoke but the text is good and readable.

Bark Book

Batak, Sumatra, Indonesia.



This concertina-form manuscript made from the folded bark of what is believed to be the alim tree is a type of book from the Batak peoples of Sumatra. Such books, known in Sumatra as "pustaka" were often written in an archaic Southern Batak dialect mixed with local dialect. These books are often used in matters of magic, divination and medicine as practiced by the Batak datu who functions as magician, soothsayer, and doctor.

Toba Batak Pop Laments


Gender, Media, and Performative Shifts in
Toba Batak (North Sumatra, Indonesia) Pop Laments:

Referencing, Reframing, and Re-presenting Grief

W. Robert Hodges, University of California–Santa Barbara


The Toba Batak practice of lament singing (mangandung) has undergone significant change since it was first documented in the early nineteenth century by European colonial and missionary visitors. Existing primarily as a women’s domain within the context of funerary mourning rituals, Toba Batak lament singing has been dramatically reshaped – primarily in connection to processes of Westernization, Christianization, and out-migration from the North Sumatran homeland of the Toba Batak – during the past 150 years. These processes have prompted an exchange of musical, technological, and contextual features which, from the late 1970s, have provided a new locus for public expressions of grief namely, the Toba Batak popular music industry. In this paper I address some of the ways in which the movement from funerary mourning practice to popular music genre have impacted the conceptual and perceptual construction of Toba Batak laments. Within a theoretical framework of nostalgia studies, I discuss a number of significant shifts in the production and use of lament in Toba Batak society. Notable among them are shifts in gender participation as popular lament singing has become decidedly male dominated; shifts in performance media as popular laments incorporate the instrumental and harmonic trappings of Western pop music; and performative shifts relating to the construction of an “audience.” In addition, the paper addresses features which serve to sonically, textually, and performatively reinforce the categorization of popular laments as “lament,” thereby underscoring the idea of a musical exchange.