STUDI ETNOARKEOLOGI PARTONUN DI PEMATANG SIANTAR
Defri Elias Simatupang
Balai Arkelogi Medan
Abstract
“Ulos” is a traditional clothes made by Batak People. The Perception for “partonun” (people whom made “ulos”) is about how ways they make it.This article want to explain the comparison their main idea from the past until now, using ethnoarchaeology approach.
Kata kunci: ulos, partonun, Batak Toba
I. Pendahuluan
Ulos adalah kain tradisional tenunan khas Batak. Ulos selalu digunakan dalam berbagai pesta dan upacara adat pada sub etnis Batak Toba. Sejarah awal mula pembuatan ulos belum diketahui dengan pasti. Yang jelas, setelah leluhur Orang Batak mengenal benang sebagai bahan baku pembuat ulos, yaitu kapas (Gossypium Hirsutum). Tanaman kapas itu dapat tumbuh baik di dataran tinggi seperti di daerah Toba Samosir, tanah leluhur orang Batak. Namun kuat dugaan pengetahuan akan tanaman kapas sebagai bahan baku benang bersumber dari masyarakat non Batak, sebagai satu bentuk interaksi dengan budaya asing yang mengakibatkan terjadinya transfer ilmu pengetahuan. Bisa saja pengetahuan membuat / menenun ulos telah ada ketika leluhur Orang Batak masuk dan mendiami tanah Batak.
Kota Pematang Siantar adalah salah satu kota di wilayah Provinsi Sumatera Utara. Pematang Siantar menjadi kota transit bagi orang-orang dari Tapanuli menuju daerah lain di Sumatera Timur. Sebagai salah satu kota terdekat parserakanni halak Batak (daerah perantauan orang Batak dari tanah leluhur), wajar saja bentuk-bentuk kebudayaan Batak di kota ini masih terasa kental pengaruhnya. Sebagai bukti: adanya sekitar seribu lebih penduduk kota ini bermata pencaharian sebagai penenun ulos yang biasa disebut partonun (siaran Ki radio, www.internews.com). Hampir setiap hari, ratusan lembar ulos terjual di pasar-pasar lokal seperti di Pasar Horas dan Pasar Dwikora Parluasan, belum lagi yang dikirim ke luar kota hingga ke luar pulau.
II. Etnoarkeologi
Tulisan ini mencoba membandingkan hubungan antara para partonun dengan ulos-ulos buatannya dengan menggunakan pendekatan etnoarkeologi. Tulisan ini diharapkan mampu menjelaskan kemungkinan ada - tidaknya terjadi transformasi budaya. Etnoarkeologi adalah Ilmu Arkeologi yang menggunakan data etnografi untuk menangani masalah-masalah Arkeologi (Mundarjito,1981:17). Etnoarkeologi berasal dari dua kata, yaitu arkeologi dan etnografi. Arkeologi secara populer didefenisikan sebagai ilmu yang bertujuan mengungkapkan kebudayaan manusia masa lampau, melalui benda-benda yang ditinggalkannya (Haryono,1984:5). Sedangkan etnografi adalah pendeskripsian suatu kebudayaan dengan tujuan mendapatkan pandangan hidup dari sudut pandang emik (pendukung kebudayaan yang dikaji / dideskripsi) atau sudut pandang etik (orang - orang dari luar kebudayaan yang dikaji/ dideskripsi) (Spradley,1997:3). Studi etnoarkeologi memiliki tiga lingkup penelitian yaitu rekonstruksi perilaku, proses taksonomi/ transformasi budaya, dan alat penentu strategi penelitian arkeologi. Tulisan ini khusus meneliti tentang proses transformasi budaya pada pembuatan ulos masa kini yang dibandingkan dengan pembuatan ulos masa dahulu. Data tentang partonun masa lampau bersumber dari data historis kebudayaan Orang Batak, meskipun data-data khusus tentang para partonun belum diperoleh secara terperinci.
Kata transformasi diartikan sebagai perubahan bentuk atau struktur dari sebuah bentuk ke bentuk lainnya (Partanto,2001:758). Pengamatan transformasi pada pembuatan ulos oleh para partonun didasari atas wujud-wujud budaya itu sendiri, meliputi: perubahan konsep ide/ gagasan para partonun, perubahan tingkah laku/ aktivitas menenun ulos, dan perubahan fisik ulos sebagai hasil aktivitas (data artefaktual). Dari ketiga wujud kebudayaan tersebut, tulisan ini hanya mengamati transformasi dari wujud ide/ gagasan saja. Hal ini dikarenakan masih kurangnya data terhadap dua wujud kebudayaan yang lain. Ada perbedaan tipis antara defenisi kata ide dan gagasan. Berdasarkan Kamus Besar Bahasa Indonesia, ide adalah rancangan yang tersusun di dalam pikiran, sedangkan gagasan adalah hasil dari pikiran itu. Dengan kata lain gagasan sudah lebih kuat dibandingkan ide, karena gagasan sudah pasti menghasilkan perintah untuk beraktivitas sedangkan ide masih mengendap di alam pikiran manusia. Ulos adalah artefak hasil dari aktivitas yang berasal dari gagasan partonun. Tulisan ini akan melihat sejauh mana transformasi gagasan para partonun terhadap ulos itu sendiri dari masa lalu hingga masa kini seperti yang ditemukan di Kota Pematang Siantar.
III. Pembuatan Ulos
Ulos memiliki berbagai macam jenis, ukuran, cara pemakaian, dan tujuan pemakaiannya. Macam-macam jenisnya, antara lain : Ulos Sadum, Pinussaan, Mangiring, Bintang maratur, Sirara, Sitoluntuho, Bolean, Sumbat, Sibolang, Suri-suri, Tumtuman, Ragi Hotang, Ragi Pangko, Runjat, Djobit, Simarindjamisi, Ragi Hidup, dsb. Keanekaragaman nama-nama ulos tersebut dapat saja berbeda penyebutannya di suatu tempat dengan tempat lain. Namun pada prinsipnya masing-masing dapat diklasifikasikan berdasarkan bentuk gorga (ragam hias), ukuran serta tujuan pemakaiannya. Sedangkan untuk ukuran, pada masa kini ulos biasanya dibuat mulai dari ukuran kecil untuk anak-anak, sedang, hingga ukuran besar. Untuk cara pemakaian, ulos digunakan sebagai bahan pakaian, selendang/ selempang, dililitkan ke kepala, sebagai sabuk/ pengikat pinggang, dan sebagai alat menggendong anak (Marbun,1987:187--188).
Pengamatan terhadap para partonun di Pematang Siantar menunjukkan kalau pembuatan ulos menggunakan teknologi yang dalam dunia pertenunan dikenal dengan sebutan teknik ikat lungsi, yaitu: pembuatan ulos dengan cara mengikatkan benang yang disusun memanjang pada alat tenun. Tehnik bertenun dengan menggunakan teknik ikat lungsi juga dikenal luas pada masyarakat etnis Dayak Iban, Dayak Kantuk, Sumba, Flores Tanimbar, Toraja, dsb. Teknik ikat lungsi di Indonesia diduga datang dari daratan Asia Tenggara yaitu berupa alat tenun yang memakai kayu di pinggang dengan ragam hiasnya berbentuk geometris, pohon hayat dan manusia. (Chalid,2000:3--4). Berikut penjelasan singkat tentang alat-alat dan cara untuk membuat ulos, seperti yang dikenal dalam teknik ikat lungsi : 1. Terlebih dahulu benang dikeraskan memakai sejenis lem/ perekat dengan menggunakan alat yang dinamakan unggas dan pengunggasan, 2. Sesudah selesai diunggas, kemudian benang dikeringkan, lalu digulung dengan alat penghulhulan dengan cara memutar. Proses selanjutnya ialah bertenun (martonun), yakni dengan cara memasukkan benang ke dalam alat tenun yang terbuat dari kayu. Adapun bagian-bagian dari alat tenun adalah : hasoli (gulungan benang pada sebatang lidi sepanjang kira-kira 30 cm), turak (alat untuk memasukkan benang dari celah-celah benang yang ditenun, terbuat dari potongan bambu kecil menyerupai seruling yang ke dalamnya dimasukkan hasoli), hatudungan (alat untuk menggendorkan tenunan agar turak bisa dimasukkan), baliga (alat untuk merapatkan benang yang telah dimasukkan dengan cara menekan sampai beberapa kali, terbuat dari batang enau yang telah dihaluskan), dan pamunggung alat yang berbentuk busur panah, pada sisi kanan dan kiri terdapat tali untuk ditarik-tarik saat menenun. Bagian-bagian dari alat tenun itu merupakan satu kesatuan (unit) yang tidak bisa dipisah-pisahkan satu sama lain selama proses menenun (Sitanggang,1990:52--53). Selembar ulos membutuhkan banyak benang dengan aneka warna, yang nantinya masing-masing benang telah digulung dalam hasoli. Hasoli-hasoli itulah yang kemudian masuk didalam turak kemudian turak keluar masuk diantara benang - benang yang sudah direntangkan sebagai bakal ulos. Begitu terus-menerus proses mengerjakan ulos hingga rentangan benang-benang itu sedikit demi sedikit berubah menjadi kain. Selama masa bertenun tubuh si partonun terikat dengan peralatan tenun, sehingga tidak dapat bergerak dengan leluasa. Biasanya alat-alat tenun itu akan dilepaskan kalau si partonun hendak istirahat atau mau melakukan pekerjaan yang lain. Ketekunan seorang partonun menentukan lama-tidaknya sebuah ulos selesai dibuat. Biasanya butuh tiga - enam pekan untuk menyelesaikan Ulos Ragi Hidup sepanjang tiga meter (wawancara dengan M. br. Sipayung).
IV. Transformasi gagasan pembuatan ulos
Pada masa lalu, leluhur Orang Batak hidup di pegunungan yang jauh dari atas permukaan laut. Karena iklim yang dingin, mereka mendapatkan rasa hangat yang bersumber dari sinar matahari di siang hari dan perapian (kayu - kayu yang dibakar) di malam hari. Namun pada malam hari ketika sedang tidur, perapian tidak praktis digunakan karena resiko dapat berakibat terjadinya kebakaran. Kebutuhan mencari rasa hangat terutama pada malam hari adalah salah satu tuntutan hidup mereka. Maka secara alamiah berbagai ide muncul dalam pikiran untuk mampu menjawab tuntutan itu. Kemudian berbagai usaha pasti dilakukan untuk menemukan solusi. Kebutuhan akan pakaian adalah solusi yang mereka cari sebagaimana di tempat lain juga demikian. Pengetahuan pembuatan pakaian dimulai dari bahan - bahan yang masih sangat sederhana, seperti kulit kayu, kulit binatang, daun-daunan, dsb, sampai pada akhirnya tercipta ulos.
Ulos menjadi puncak kebudayaan materi (artefak) hasil akhir dari siklus wujud kebudayaan, yang berawal dari ide/ gagasan - melakukan usaha pekerjaan yang berkembang sebagai sebuah teknologi - hingga akhirnya menghasilkan artefak (ulos itu sendiri). Pasca ditemukannya ulos, masyarakat Batak Toba menjadikannya sebagai sebuah keterampilan yang umumnya dikuasai oleh para wanita dalam kehidupan sehari-hari. Namun pada masa ini, pekerjaan membuat ulos bukan menjadi pekerjaan utama, karena mata pencaharian utama masih di sektor pertanian. Mereka membuat ulos disela-sela waktu pekerjaan utama. Terutama bagi para ibu yang menjaga rumah dan anak-anak mereka. Istilah partonun pada masa ini belum tepat dipredikatkan pada mereka, karena pada masa ini membuat ulos belum menjadi sebuah profesi.
Fungsi ulos di masa awalnya hanya digunakan sebagai penghangat tubuh. Kemudian bertambah fungsinya menjadi benda hadiah bagi orang-orang yang mereka sayangi. Pada masa ulos berfungsi sebagai benda hadiah, ulos mulai masuk sebagai bagian paralatan adat yang sakral dengan aturan - aturan baku penggunaannya. Ide yang berkembang terhadap tehnik pembuatan ulos masa ini diduga menjadi puncak kebudayaan penenunan ulos. Profesi partonun sudah dikenal pada masa ini, khususnya bagi mereka yang dikenal terampil membuat ulos yang bernilai seni yang tinggi. Partonun seakan-akan berlomba mengekspresikan ungkapan kasih sayangnya kepada si bakal penerima ulos dengan membuat ulos sebaik mungkin. Tanpa disadari hasil kreativitas seni para partonun tersebut menghasilkan berbagai jenis ulos yang dikemudian hari memiliki nama dan aturan pemakaian yang berbeda-beda.
Partonun pada masa awal munculnya berbagai jenis ulos lebih tepat disebut sebagai seniman ulos karena menggabungkan antara tehnik pembuatan ulos dengan system religi masyarakat Batak Toba. Asumsi ini dibuat karena ulos masuk ke dalam konteks artefak perlambangan akan sesuatu maksud/ tujuan yang tidak harus dibuat atas dasar hubungan empiris saja. Ulos berhubungan dengan ide/ gagasan yang terelaborasi dalam kehidupan religiusitas Orang Batak masa dahulu yang kompleks (Sumardjo,2002:134--136). Ulos bukan hanya benda lambang, tetapi ulos merupakan manifestasi kehidupan religi yang terlambangkan oleh si pembuat (partonun) pada masa ini. Itu sebabnya ragam hias pada ulos umum dipakai dalam lambang-lambang religi lama di berbagai etnis di Indonesia. Tidak dapat dipastikan kalau hal itu merupakan "peniruan" bentuk-bentuk yang empirik, yang kemudian digeneralisasi oleh para pengamat masa kini (seperti gambar manusia, binatang, tumbuhan selalu ada pada kain-kain tenunan tradisional).
Ulos menjadi tidak sekedar kain biasa pada masa dahulu tetapi menjadi alat pemberian rahmat, berkat, perlindungan dari pihak hula-hula kepada pihak boru sebagaimana yang diamanatkan secara turun-temurun melalui sistem kekerabatan yang disebut dalihan na tolu. Dalihan natolu secara harafiah berarti ”tungku berkaki tiga”. Ia dipakai sebagai simbol sistem hubungan sosial masyarakat Batak Toba yang terdiri dari tiga kelompok unsur kekerabatan, yaitu : hula-hula, dongan tubu, dan boru. Pihak hula-hula adalah kelompok orang, yang posisinya "di atas", yaitu keluarga dari marga pihak perempuan yang harus dihormati oleh marga-marga yang memperistrikan atau memiliki ibu yang berasal dari marga pihak perempuan tersebut.
Pihak marga yang memperistrikan atau memiliki ibu dari marga pihak perempuan tersebut dinamakan sebagai pihak boru yaitu kelompok orang-orang yang posisinya "di bawah". Sedangkan pihak dongan tubu, yaitu kelompok orang yang posisinya "sejajar", yaitu : teman atau saudara semarga yang diharuskan untuk selalu menjaga persaudaraan agar terhindar dari perseteruan (Siahaan,1964:36--38, Simanjuntak, 2002:93--102). Dalihan na tolu bukanlah kasta karena setiap orang Batak memiliki ketiga posisi tersebut. Ada saatnya menjadi hula-hula, ada saatnya menempati posisi dongan tubu dan ada saatnya menjadi boru. Hingga kini setiap upacara adat ulos digunakan sebagai alat oleh pihak hula-hula untuk menyatakan rasa sayangnya kepada pihak boru. Ini merupakan salah satu bagian dari prinsip dalihan natolu (tiga falsafah hidup bersosial sesama Orang Batak), yaitu prisip elek marboru (penuh cinta kepada pihak boru). Falsafah itu diungkapkan dengan memberikan ulos oleh pihak hula-hula kepada pihak boru yang disebut mangulosi.
Pengamatan di masa kini, seperti di Kota Pematang Siantar ulos diperjual-belikan di pasaran tak ubahnya seperti barang dagangan biasa. Kedalaman makna filosofis dari selembar ulos telah berkurang dan cenderung lebih dinilai dari sudut pandang ekonomi. Harga selembar ulos dimulai dari harga dua puluh ribu sampai bisa mencapai jutaan rupiah (seperti dijual di Jakarta). Di balik tingginya nilai dan harga sebuah ulos, justru banyak partonun tingkat perekonomiannya masih kekurangan. Status sosial merekapun dianggap rendah sama seperti buruh upahan. Keadaan mereka diperparah lagi karena faktor penentu harga ulos ada di tangan para tokeh/ parkilang (distributor ulos ke pasaran, biasanya mereka memiliki sejumlah alat tenun dengan para partonun yang mereka gaji). Ani, seorang partonun di Pematang Siantar yang sudah lebih sepuluh tahun membuat ulos, mengatakan meskipun harga benang naik, upah partonun belum tentu bisa ikut naik. Ada saja alasan para tokeh/parkilang mengatakan kalau masih banyak ulos yang belum laku dijual menumpuk di gudang (wawancara Ki Radio terhadap informan, www.internews.com).
V. Penutup
Pembuatan ulos masa kini bila dibandingkan dengan masa-masa terdahulu terindikasi mengalami transformasi budaya. Transformasi dilihat pada gagasan partonun dari mulai masa lampau hingga masa kini. Di masa terdahulu gagasan membuat ulos adalah untuk sebuah tuntutan pemenuhan kebutuhan akan pakaian. Pada masa ini partonun bukan pekerjaan utama, tetapi hanya sebuah keterampilan yang umum dikuasai oleh para wanita Batak. Kemudian masa selanjutnya gagasan pembuatan ulos bertambah tujuan, yaitu untuk dijadikan sebagai hadiah dari pihak hula-hula kepada pihak boru yang diekspresikan dalam setiap aktivitas kehidupan religi adat Batak. Pada masa inilah partonun lebih tepat dikatakan seniman ulos karena membuat ulos yang bernilai seni yang tinggi sesuai dengan makna filosofis kehidupan religi masyarakat Batak Toba. Kemudian masa selanjutnya yaitu masa kini gagasan pembuatan ulos berubah menjadi usaha pelestarian warisan kebudayaan leluhur orang Batak. Sehingga sepantasnya partonun adalah sebuah pekerjaan yang membanggakan.
Di Pematang Siantar banyak partonun bekerja pada pemilik modal besar sehingga upah mereka sepenuhnya ditentukan oleh si pemiliki usaha. Tingkat perekonomian dan pendidikan formal partonun yang masih rendah mengakibatkan rendahnya daya saing pekerjaan untuk kemajuan usaha mereka. Muncul kekhawatiran kalau gagasan partonun membuat ulos pada masa yang akan datang hanya sekedar pekerjaan mendapatkan uang, maka nilai kebanggaan sebagai partonun akan semakin rendah. Pemerintah dan para tokeh/ parkilang sepatutnya berkoordinasi untuk memikirkan cara terbaik untuk peningkatan kesejahteraan mereka. Usaha mengejar kekayaan materi dan status sosial sepatutnya sejalan dengan usaha pelestarian kebudayaan warisan leluhur. Bila partonun sejahtera, tentu mereka akan bangga atas usaha dan sadar akan pelestariaan pekerjaan menenun ulos sebagai warisan kebudayaan leluhur orang Batak.
Kepustakaan
- Chalid, Suhardini, 2000. Tenun Ikat Indonesia. Jakarta: Museum Nasional
- http://www.nainggolan.net/ulos.htm
- http://www.internews.com, download siaran Ki Radio tentang kehidupan Partonun di P. Sinatar
- Tim Penyusun, 1994. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka
- Koentjaraningrat. 1980. Sejarah Teori Antropologi. Jakarta: Dian Rakyat
- Mundarjito, 1981. Etnoarkeologi Peranannya dalam Pengembangan Arkeologi Indonesia dalam Majalah Arkeologi Th IV No. 1--2. Jakarta: Universitas Indonesia
- Marbun & Hutapea, 1987. Kamus Budaya Batak Toba. Jakarta: Balai Pustaka
- Partanto, A. Pius, 2001. Kamus Ilmiah Populer. Surabaya: Arkola.
- Pritchard, E. E. Evans, 1984. Teori-teori tentang agama primitif. Jakarta: PLP2M press.
- Purba, O. H. S., 1997. Migrasi Spontan Batak Toba (Marserak). Medan: Monora
- Sibeth, Achim, 1991. Living with Ancestors The Batak peoples of the island of Sumatra. London:Thames and Hudson.
- Sinaga, Richard, 1999. Meninggal Adat Dalihan Natolu. Jakarta: Dian Utama
- Spradley, James P, 1997. Metode Etnografi. Yogyakarta: Tiara Wacana
- Sitanggang, Hilderia, 1990. Isi dan kelengkapan rumah tangga tradisional menurut tujuan, fungsi dan kegunaan suku bangsa Batak Toba, Daerah Tapanuli Utara, Sumatera Utara. Jakarta: Direktorat Sejarah Dan Nilai Tradisional
- Sumardjo, Jakob, 2002. Arkeologi Budaya Indonesia, Pelacakan Hermeneutis – Historis terhadap Artefak-Artefak Kebudayaan Indonesia. Yogyakarta: CV.Qalam
Informan
M. br. Sipayung (67thn), pedagang ulos di Pasar Horas P.Siantar. Wawancara dilakukan beberapa kali dari tanggal 6-18 Juni 2005 di tempat beliau berjualan ulos. Hasil wawancara yang didapatkan : pengetahuan tentang ulos, jenis-jenis ulos yang dijual beserta harganya.